Special Guest Part 1

Title : Special Guest (Part 1)
Genre : Romance, Friendship and Novel
Length : Chapter
Rated : PG +17
Main cast : Lee Hiu Hwi, Cho Kyuhyun
Support cast : Park Hyojin
Author : Putri Cho
Facebook : Yhayas Putri
Disclaimer : Semua tokoh yang ada dalam fanfic ini semua milik Tuhan dan sepenuhnya milik masing-masing orang tua dan entertainment. Alur cerita tidak berdasarkan kisah nyata, melainkan fiksi. Don’t Bash and Keep RCL J
Happy Reading
***

Saat pertama kali berjumpa dengan laki-laki itu, ia sadar bahwa menuruti permintaan Hyojin merupakan kesalahan besar.
Laki-laki itu berdiri di teras Wisma Lee dengan koper di satu tangan dan mesin tik portable di tangan lainnya. Dengan kacamata kecil berbingkai kulit kura-kura yang bertengger di atas kepalanya, ia tampak tersipu melihat wanita di hadapannya yang tampaknya baru bangun tidur.
Lee Hiu Hwi, pemilik dan pengelola penginapan yang juga member pelayanan sarapan bagi penyewanya, berdiri di pintu depan dan bertelanjang kaki sambil mencengkeram leher kimononya dengan jemarinya yang putih mulus.
Begitu ia melihat Cho Kyuhyun, perutnya terasa melilit dan mengejang, kemudian serasa bergejolak. Tiba-tiba ia sadar dirinya tak mengenakan pakaian dalam selain baju tidur tipis dan kimono yang membungkus tubuhnya itu. Sensasi menjalari pahanya membuatnya tersipu sekaligus menyenangkan dan ia pun menyadari tubuhnya yang tampak seksi.
“Hiu Hwi? Lee Hiu Hwi-ssi?” Tanya laki-laki itu.
Ia mengangguk seperti orang tolol.
“Aku Cho Kyuhyun. Aku membuatmu terbangun, ya?”
Dari rambutnya yang acak-acakan, pakaiannya, serta kakinya yang tanpa alas, jelas menandakan bahwa Hiu Hwi baru bangun tidur. “Ya. Maaf “ Ia menggerak-gerakkan tangannya, menyentuh tubuhnya sendiri, kemudian tersadar kembali dan segera mencengkeram kerah kimononya. “Aku…kupikir kau akan datang lebih awal. Silahkan masuk.”
Dibukanya pintu dari kayu ek itu lebih lebar. Kyuhyun pun melangkah masuk sambil menjinjing kopernya. “Tadinya aku akan terbang lebih pagi tapi ternyata Hyunjo ikut main bola dan dia kecewa waktu tahu aku tak bisa datang. Akhirnya kutunda keberangkatanku. Pertandingannya setelah jam sekolah. Jadi waktu akhirnya dia menang dan kami merayakannya dengan makan-makan, aku tak sempat mengejar penerbangan terakhir. Memangnya Hyojin tidak menelpon?”
“Tidak.”
“Oh, maaf.” Kyuhyun menarik napas. “Seharusnya dia menelpon dan memberitahumu bahwa aku akan datang terlambat.” Diletakkannya barang bawaannya di lantai dan direntangkannya lengannya.
“Tak apa-apa. Sungguh.”
Kyuhyun berdiri tegap dan menatap mata Hiu Hwi. Mata laki-laki yang terlihat unik itu beradu pandang dengannya. Seberkas cahaya di tengah kegelapan memantulkan kilatan mata Kyuhyun yang berwarna cokelat dan dihiasi bulu mata lebar berwarna hitam, seperti warna rambutnya.
“Maaf, aku mengganggu tidurmu. Kata Hyojin tadinya kau keberatan aku tinggal di sini.” Kyuhyun tersenyum penuh percaya diri, sedikit angkuh, tapi begitu mempesona.
Hiu Hwi merapikan rambut yang menjuntai di dahinya dan berusaha mengatasi gejolak dalam tubuhnya. “Bukan keberatan terhadapmu, Kyuhyun-ssi,” sahutnya dengan suara yang diusahakan tetap terdengar wajar. “Umumnya penginapan seperti ini dikelola oleh pasangan suami-istri. Karena aku wanita lajang, aku membatasi hanya menerima tamu pasangan suami-istri atau wanita-wanita yang perlu singgah dalam perjalanannya.”
Pandangan Kyuhyun menelusuri tubuh Hiu Hwi. “Bagus juga. Kau bertanggung jawab menjaga reputasi Wisma Lee.”
“Betul,” sahut Hiu Hwi sambil mencengkeram kimononya kuat-kuat. Pandangan Kyuhyun seakan melucuti seluruh tubuhnya, membuatnya tersadar agar mengontrol gejolak yang seolah menguasainya itu. Ia merasa nyaman tinggal di sini selama sekitar dua puluh dua tahun, dan kini tiba-tiba, hanya dalam dua menit terakhir dirinya merasakan adanya perasaan aneh.
“Bukankah aturan itu akan mempengaruhi pendapatan bisnis yang kau jalani ini?”
Senyum Hiu Hwi mengembang. “Aku bahkan belum mencapai titik impas. Aku masih membutuhkan tamu yang akan mendatangkan uang.”
“Aku termasuk tamu yang mendatangkan uang,” kata Kyuhyun. Usahanya untuk meyakinkan itu seakan menjanjikan kedekatan di antara mereka.
Hiu Hwi berdiri tegak bagaikan tentara. “Aku setuju kau tinggal di sini karena kau tunangan sahabatku, dan Hyojin memohon agar aku mengizinkanmu tinggal di sini selama satu bulan agar kau bisa menyelesaikan novelmu sebelum kalian menikah.”
“Sleeping Mistress.”
“Apa?”
“Sleeping Mistress. Itu judulnya.”
“Oh.”
“Kau pernah membaca novelku?”
“Ya.”
“Kau menyukainya?”
“Sebagian. Aku “
“Bagian yang mana?”
“Sebagian besar,” jawab Hiu Hwi sambil tertawa melihat gaya menyelidik Kyuhyun, jawaban itu cukup memuaskan Kyuhyun, yang kemudian tersenyum hangat, bahkan terkesan terlalu pribadi bagi Hiu Hwi yang kini sudah tak terlalu kaku. “Kurasa kau dan Hyojin sangat cocok,” ia segera mengalihkan pembicaraan.
“Ya, dia luar biasa.”
“Betul. Kupikir…ah, tak usahlah.”
“Ayo teruskan, kau pikir kenapa?”
“Yah, tadinya kupikir dia takkan bisa melupakan Yoochun setelah kematian pria itu. Hyojin dan kedua anak laki-lakinya begitu berat menerima kenyataan itu. Tapi waktu aku mendengar suaranya beberapa hari lalu, dia terdengar begitu bahagia. Kau begitu bertanggung jawab. Aku tahu, kau menangani semua urusan hukum Hyojin setelah Yoochun meninggal.”
“Aku sedang berada di Cina saat kecelakaan itu terjadi, dan segera kembali secepat mungkin. Park Yoochun adalah sahabatku selama bertahun-tahun. Dan bagiku, mengurus jandanya bukan merupakan tugas yang memberatkan, justru merupakan kehormatan.”
Sampai-sampai ingin menikahinya? Hampir saja pertanyaan itu terlontar dari bibir Hiu Hwi, tapi ia menahan diri. Ia merasa bersalah telah membuka pembicaraan seputar Hyojin.
“Pernikahan ini sangat berarti bagiku, Hiu Hwi-ya,” kata Hyojin waktu itu. “Sejak kematian Yoochun…well, kau tahu, aku sangat kesepian dan merasa berat mengurus dua anak laki-laki. Kyuhyun begitu hebat, begitu sabar menghadapi aku dan anak-anakku, tapi dia juga tak tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya. Rasanya kami perlu berpisah untuk sementara sebelum kami memutuskan untuk mengambil langkah besar.”
“Hyojin,” dengan ragu Hiu Hwi bertanya, “apakah kau mencintainya?”
Hyojin tidak langsung menjawab pertanyaannya itu. “Tentu. Aku begitu mengaguminya. Dia dan Yoochun sudah lama bersahabat. Dia ingin menjaga aku dan anak-anak. Dia mencintai kami dan kami juga begitu memujanya.”
“Ya, aku tahu,” sahut Hiu Hwi gemas karena Hyojin tidak bisa menangkap maksud pertanyaannya. “Sudah ratusan kali kau ceritakan bahwa Yoochun dan Kyuhyun tumbuh bersama-sama, dan mereka seperti saudara. Tapi apakah itu alasan yang tepat untuk menikah dengannya? Dia kan bukan Yoochun, Hyojin.”
“Kejam sekali, Hiu Hwi! Aku takkan pernah mencintai siapa pun seperti aku mencintai Yoochun, tapi aku mencintai Kyuhyun dengan cara yang berbeda. Gara-gara perlakuan Donghae terhadapmu, perasaanmu jadi getir dan meragukan segala bentuk hubungan antara pria dan wanita. Itulah sebabnya kau mengunci diri di rumah tuamu itu dan tak mau berhubungan dengan laki-laki lain selama dua tahun terakhir sejak si brengsek itu mencampakkanmu.”
Sahabatnya itu memang benar dan Hiu Hwi pun minta maaf serta menghentikan pembahasan seputar persoalan itu. Kyuhyun dan Hyojin tampaknya telah sepakat untuk menikah. Soal perasaan orang lain bukanlah urusannya.
Hiu Hwi menepis lamunannya itu.”Aduh, kenapa kubiarkan kau berdiri terus. Ayo, silakan naik ke kamarmu di lantai atas.”
“Kau cukup ramah, apalagi untuk ukuran orang yang baru bangun tidur. Tamu yang lain sudah tidur?”
“Tiga dari enam kamar yang tersedia sudah terisi, dan mereka sudah naik ke kamar masing-masing setelah makan malam.” Semakin jelas bahwa hanya mereka berdualah yang ada di situ, di kegelapan lorong rumah, sementara Hiu Hwi hanya mengenakan baju tidur dan kimono tanpa alas kaki. Dengan gelisah Hiu Hwi membasahi bibirnya. “Kata Hyojin kau ingin kamar yang besar dengan kamar mandi di dalam.” Ia menunjuk ke puncak tangga. “Pintu terakhir di ujung lorong.”
Tampaknya Kyuhyun masih belum ingin naik ke lantai atas. Ia tak beringsut. “Kau tak takut membukakan pintu untuk seorang pria malam-malam begini?”
“Hyojin sudah memberitahu cirri-cirimu. Aku juga mengenalimu dari jaket yang kau pakai pada foto di sampul belakang bukumu.”
Kyuhyun mengangkat alisnya tinggi-tinggi. Kedua alis itu tampak tak sama, yang satu melengkung indah sementara yang lain terlihat lebih datar. “Ya ampun. Agenku memaksa agar aku mengenakan jaket Brooks Brothers untuk foto itu. Mereka bahkan menata rambutku sebelum pemotretan.”
Rambutnya saat ini tak tertata. Ia tampak lusuh. Dan jaket yang dikenakannya itu sama sekali tak menyerupai Brooks Brothers, malah tampak seperti jaket yang sudah bertahun-tahun dipakai berperang sejak tahun 1920. Celana jeans belelnya dan sepatu adidas lusuh yang dikenakannya pun tak terlihat seperti barang-barang yang dipajang di butik-butik eksklusif pria.
Foto hitam putih yang terpampang pada sampul belakang buku Korean Escapade hanyalah gambar dua dimensi sosok yang saat ini berdiri di depan Hiu Hwi dan sedang tersenyum padanya. Kemarin ia mencari-cari buku itu di rak bukunya agar bisa mengenali orang yang akan menemuinya itu. Hyojin juga telah memberinya gambaran seadanya. Hiu Hwi tak mengingat-ingat lagi wajah laki-laki itu setelah buku tadi diletakkannya kembali di tempatnya.
Wajah yang dingin pada foto itu berbeda dengan sosok sebenarnya, yang terlihat begitu menikmati masa-masa selama 27 tahun kehidupannya Hyojin telah memberitahu berapa usia laki-laki itu. Garis-garis senyum menghiasi kedua belah bibirnya, juga terukir di sudut kedua matanya. Senyum yang tampak dipaksakan pada foto di buku itu kini terlihat sensual, dihiasi deretan gigi putih yang rapi. Pada foto itu hidung Kyuhyun terlihat angkuh, berbeda dengan saat ini, terlihat mancung dan lurus serta… menampakkan kejujuran.
Tubuh di balik jaket Brokks Brothers yang terpampang di buku itu tak begitu mengesankan. Padahal pada sosok sebenarnya, wanita pasti ingin menyentuhnya. Kekar dan ramping, menggambarkan kekuatan dan keanggunan. Gerakan tubuh yang tinggi itu terlihat luwes, seakan tahu bagaimana harus bergerak.
“Ke mana?”
Hiu Hwi tersentak dari lamunannya. “Oh, kamarmu sudah siap dan pasti kau sudah sangat lelah. Sebentar, kuambilkan kuncinya.” Hiu Hwi bersyukur ada alasan untuk berhenti memperhatikan Kyuhyun. Ia berbalik menuju kantornya di balik tangga. Kyuhyun menghentikannya.
“Mianhae, aku tak ingin merepotkanmu, tapi aku lapar. Tadi di pesawat aku hanya diberi kacang. Bolehkah tamu yang akan mendatangkan uang ini membujuk nyonya rumahnya yang baik untuk sekedar memberikan semangkuk sereal? Apa saja aku mau.”
“Tadi aku menghidangkan daging panggang untuk makan malam. Kau mau sandwich daging panggang?”
“Aku bahkan mau walaupun hanya diberi semangkuk sereal,” sahutnya sambil meletakkan tangan di dadanya sebagai tanda terima kasih.
Hiu Hwi menahan diri untuk tidak terpesona. “Tunggulah di ruang makan, akan kuhidangkan segera.” Hiu Hwi menunjuk ruang di sebelah kiri.
Dalam sekejap ruang makan itu bermandikan cahaya lampu Kristal yang tergantung di langit-langit ruangan. Meja makan sudah ditata untuk sarapan. Hiu Hwi selalu melakukannya setelah selesai makan malam. Cahaya lampu Kristal yang lembut memantulkan sinar keperakan yang menimpa taplak meja yang tersetrika rapi serta piring-piring porselen dengan lipatan serbet di atasnya. Di tengah meja diletakkan rangkaian bunga segar dalam mangkuk antic, mengimbangi kesan formal dengan keindahan tersendiri.
“Aku sendirian?”
Hiu Hwi menoleh dan mendapati Kyuhyun di belakangnya, tengah mengamati ruangan yang tertata anggun, yang selama ini menjadi kebanggaan dan kesenangan Hiu Hwi. Kacamata Kyuhyun yang tadi bertengger di atas kepalanya kini dipakainya. Kiu Hwi suka cara pria itu memandangi seluruh ruangan.
“Aku tidak “
“Well, kau kan sudah menata meja untuk sarapan, tentunya akan lebih praktis bila aku makan sandwich di dapur saja. Bagaimana kalau pakai piring kertas saja?”
“Tak masalah,” sahut Hiu Hwi sambil menarik napas. Kyuhyun begitu dekat dan tinggi sehingga Hiu Hwi harus memiringkan kepala untuk menatapnya, sementara tangannya terus menggenggam ujung atas kimononya, berusaha menyembunyikan detak jantungnya yang bergemuruh.
Mata Kyuhyun menelusuri wajah Hiu Hwi selama beberapa saat, kemudian perhatiannya teralih ke tangan mungil yang menggenggam itu. “Dimana dapurnya?” Tanya Kyuhyun lembut.
“Lewat sini,” sahut Hiu Hwi. Meskipun sudah berusaha sekuat tenaga, ia tahu pasti suaranya terdengar tak wajar. Belum pernah ada tamu yang ke dapurnya dan rasanya tak masuk akal membiarkan hal itu terjadi pada tamu laki-laki bujangan. Tapi ia juga tak mungkin berdiri di hadapan tamunya dengan hanya mengenakan baju tidur berlapis kimono, dan memaksanya menunggu di ruang makan. Seharusnya ia tak menuruti permintaan Kyuhyun. Ia kan pemilik dan pengelola tempat ini? Lalu, kemana wibawa yang selama ini dimilikinya?
Namun rasanya ia harus cukup berbaik hati membiarkan Kyuhyun mengikutinya menyusuri lorong. Pria itu meninggalkan koper dan mesin tik nya di ujung tangga, dan menanggalkan jaketnya begitu mereka tiba di dapur.
Hiu Hwi menyalakan lampu dan mengambilkan makanan untuk Kyuhyun. Bukan hanya sandwich, tapi juga sisa salad buah, sepotong kue lapis cokelat, dan segelas susu, walaupun Kyuhyun mengatakan ia lebih suka kopi. Hiu Hwi tahu, pandangan Kyuhyun mengikuti setiap gerakannya dan ia menyumpah-nyumpah dalam hati karena rasa gugup yang tak dapat ditepisnya. Semua ini benar-benar tak masuk akal. Hiu Hwi mengingatkan dirinya siapa Kyuhyun dan mengapa pria itu ada di situ. Ia pun berusaha membuka pembicaraan, “Hyojin tidak cerita kalau Hyunjo main sepak bola.”
Topik yang cukup aman. Membawa nama Hyojin dalam percakapan mereka tentu akan menyingkirkan perasaan dekat di antara mereka yang hanya berdua saja di dapur. Di meja kerja Hiu Hwi di dapur itu, Kyuhyun melahap makanan yang disiapkannya di tengah malam itu. Sementara itu Hiu Hwi bertanya-tanya dalam hati, apakah Kyuhyun tahu bahwa ia tak mengenakan apa pun di balik baju tidurnya itu.
Betapa konyolnya mencemaskan hal semacam itu, Hiu Hwi-ya. Semua orang juga telanjang di balik baju yang mereka pakai.
Kyuhyun menelan rotinya dan meminum susunya beberapa teguk, kemudian menyeka mulutnya dengan serbet sebelum akhirnya menjawab. “Mereka melatih anak-anak sejak dini. Anak-anak keccil itu sudah bisa berlari.”
“Tentunya Hyunjo senang sekali kau bisa menonton permainannya.” Hiu Hwi memainkan tempat gula yang tergeletak di tengah meja. Ruangan terasa dingin karena penghangat ruangan telah di matikan untuk menghemat energi. Hiu Hwi berharap semoga saja Kyuhyun tak melihat payudaranya yang mengeras dan tidak menyalahartikannya. Ia sendiri tahu apa yang terjadi. Ia tahu dirinya terangsang.
“Hyunjo dan Hyunso memang lucu, tapi mereka juga membutuhkan figure laki-laki yang dapat menjadi panutan. Kakek-nenek dari kedua belah pihak terlalu memanjakan mereka, dan Hyojin merasa sulit untuk bisa bersikap tegas terhadap mereka. Dia takut disiplin keras yang diterapkan pada kedua anak itu akan berpengaruh buruk terhadap perkembangan jiwa mereka setelah kehilangan ayahnya.”
“Kecelakaan yang menimpa Yoochun begitu tragis. Aku yakin trauma yang mereka alami bukan hanya karena kematian itu sendiri, tapi juga karena pemberitaannya.”
“Jelas.” Kyuhyun menghantamkan kepalan tangannya ke meja. “Brengsek. Apa sih yang mendorong Yoochun ikut balap mobil? Dia tak hanya mempertaruhkan hidupnya, tapi juga hidup istri dan kedua anaknya. Betapa bodoh dan egoisnya dia. Waktu dengan bangga dia menunjukkan mobil brengsek itu, aku menyarankannya agar mobil itu disingkirkan saja, dan memintanya untuk tak terlalu serius menekuni balap mobil.” Hiu Hwi setuju dengan pendapat itu, hanya saja ia tak pernah menyuarakannya.
“Memang kedengarannya kasar, tapi aku masih kesal dengan perbuatannya yang tak bertanggung jawab, yang akhirnya menyusahkan Hyojin dan anak-anaknya.”
Kyuhyun kembali meminum susu sambil menatap Hiu Hwi dari atas gelasnya. Setelah selesai ia meneruskan percakapannya. “Lucu juga ya, aku sahabat Yoochun dan kau sahabat Hyojin, tapi kita tak pernah bertemu. Kenapa kau tak menghadiri pernikahan mereka?”
Hiu Hwi mengalihkan pandangannya dari sudut bibir Kyuhyun yang menurutnya begitu menarik. ‘Mmm… waktu itu aku sedang di Mesir.”
“Kau pergi jauh-jauh ke Mesir hanya untuk menghindari undangan pernikahan?”
Hiu Hwi tertawa. “Bukan. Orang tuaku Egyptologists ahli Mesir Kuno. Mereka memaksaku ikut jalan-jalan ke Mesir selama tiga bulan. Hyojin kesal, menangis, dan memohon-mohon, tapi aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku sudah janji untuk ikut dan terlalu mahal untuk pulang dan menghadiri pernikahannya.”
Apakah Kyuhyun menatap bagian depan tubuhnya? Pikir Hiu Hwi. Ya, pria itu sedang memandanginya. Ya Tuhan. Sesantai mungkin Hiu Hwi menyilangkan tangannya menutupi dada.
“Kau… kau suka Mesir?” Kyuhyun terbata-bata, seakan sesuatu merintangi tenggorokkannya.
“Yah, lumayan.” Sebenarnya Hiu Hwi benci berada di sana. Hanya karena perjalanan itu merupakan keinginan orangtuanya, ia terpaksa ikut. Ayahnya yang professor sejarah di SNU dan ibunya yang asisten riset ayahnya sejak mereka belum menikah, membujuk Hiu Hwi agar mau ikut.
Dan seperti yang dicemaskannya, ia menjadi pembantu mereka, mulai dari pengaturan segala keperluan perjalanan, mengepak barang-barang, sampai mengatur jadwal mereka. Dan seperti biasa, mereka selalu disibukkan oleh pekerjaan ataupun dengan diri sendiri, sehingga tak sempat memperhatikan anak mereka.
“Apa kegiatanmu sebelum mengurus Wisma Lee?”
Hiu Hwi berpikir, rasa ingin tahu itu tentu timbul karena profesi Kyuhyun sebagai penulis. Kisah pribadi akan membosankan bagi Kyuhyun dan menyakitkan bagi dirinya sendiri, maka dengan sopan dijawabnya juga pertanyaan itu. “Dulu aku bekerja di perusahaan pemasok alat-alat perkantoran di Seoul.”
“Dan kau tinggalkan pekerjaanmu untuk mengurus rumah kuno yang indah di jeju ini?”
Tatapan Kyuhyun yang tertimpa cahaya kekuningan menggodanya.
“Yah, pengorbanan yang cukup besar.” Wajah Hiu Hwi menampakkan kesedihan, kemudian keduanya tertawa.
“Dari mana kau dapatkan rumah ini?”
“Ini salah satu yang dicantumkan dalam surat wasiat kakekku. Orangtuaku tidak tertarik dengan rumah ini. Aku datang kemari untuk melihat dan langsung tahu apa yang harus kulakukan.”
Ia kembali ke Seoul, meninggalkan pekerjaannya, dan memberitahu orang tuanya mengenai rencana yang akan dilakukannya. Beberapa minggu kemudian ia pun pindah. “Kuhabiskan seluruh uang peninggalan kakek untuk merenovasi rumah ini. Kondisinya saat itu buruk sekali.”
“Tapi lokasinya di Pulau Jeju. Ya Tuhan, kau sangat beruntung.”
“Tadinya rumah ini pasti mirip gudang bobrok. Kalau tidak, sejak dulu pasti sudah ada yang berminat membelinya. Kakek sudah memiliki tempat ini sejak tahun tiga puluhan, tapi dikosongkan selama bertahun-tahun. Gudang itu semakin lama semakin hancur. Jadi, bila dilihat dari nilai jual objek pajak, harga rumah ini cukup tinggi. Tapi yang penting, aku tak perlu keluar uang untuk memilikinya.”
Kyuhyun mengamati dapur dengan perlengkapan modern hasil renovasi Hiu hwi. “Hasil kerjamu benar-benar luar biasa. Rumah ini tampak hebat.”
“Terima kasih. Sekarang aku harus mempertahankan diri agar tak tenggelam, sampai aku bisa mulai mendapat untung…” Hiu Hwi mengaitkan jemari kedua tangannya seperti orang berdoa, matanya terpejam, berharap keinginannya itu bisa tercapai. Kyuhyun tertawa.
“Kupikir kau mirip Hyojin. Ternyata tidak.”
Hiu Hwi sadar akan hal itu. Hyojin adalah primadona kampus di SNU karena kecantikannya saat mereka masih kuliah. Berambut pirang kecokelatan, bermata hitam, bertubuh seksi, dan berlesung pipi. Sering kali Hiu hwi merasa tenggelam dibandingkan Hyojin.
Rambut Hiu hwi berwarna pirang gelap bercampur terang. Matanya bagaikan langit biru berkabut. Tubuhnya indah seperti tubuh Hyojin, tapi lebih ramping.
“Memang,” sahut Hiu hwi ringan, berusaha menghentikan pandangan Kyuhyun yang mengamatinya bagai salah satu tokoh dalam cerita yang ditulisnya. Bukankah menulis merupakan hasil mengumpulkan bahan-bahan yang bisa ditulis? “Hyojin kan cantik.”
“Kau juga.”
Hiu hwi terlonjak bangun dari kursinya dan pahanya membentur meja. “Terima kasih. Kau perlu apa lagi?” tanyanya gugup, berusaha agar tangannya tak terlihat gemetar saat meraih piring bekas makan Kyuhyun. Ia tak punya piring kertas.
“Tidak, terima kasih. Makanannya enak.”
Hiu hwi membawa piring tadi ke tempat cuci piring dan membiarkan air keran mengguyurnya. “Ayo, kuantar kau ke kamarmu.” Ia berlalu, mengalihkan perhatiannya dari kemeja tanpa jaket yang begitu pas dikenakan Kyuhyun; berusaha tidak memperhatikan celana jeans pria itu yang membalut ketat paha kekar dan bagian bawahnya yang menonjol.
Ya Tuhan, betapa frustasinya dia sebagai wanita yang hanya memperhatikan satu hal itu saja.
“Semoga kamarmu cukup memuaskan,” ungkap Hiu hwi saat mereka berjalan kembali kea rah ruang makan, lalu menuju kantornya di belakang tangga. Diambilnya kunci kamar itu dari deretan yang tergantung rapi di dalam lemari kecil. Dijatuhkannya anak kunci itu ke tangan Kyuhyun Hiu hwi tak berani menyentuh tangan pria itu.
“Apakah di kamarku ada meja agar aku bisa meletakkan mesin tikku?”
“Aku sudah menyiapkan sebuah meja di dalam kamar itu… juga sebuah kursi.”
“Terima kasih. Aku harus bekerja tanpa ada gangguan.”
“Aku heran kenapa kau tak bisa menyelesaikan bukumu di Seoul. Hyojin bilang kalian akan tinggal disana, jadi kupikir pasti ada rumah yang akan kalian tempati.”
“Benar. Di tepi pantai. Indah sekali. Segalanya ada disana.”
“Lalu…?”
“Disana juga ada telepon, yang nomornya diketahui banyak orang. Eomma Hyojin meneleponku dan menanyakan warna gaun yang akan dikenakan Eommaku saat pernikahan nanti. Waktu kubilang sebaiknya dia menghubungi Hyojin, dia bilang, ‘Oh, aku tak ingin mengganggunya,’ kemudian Appa Hyojin menelepon, mengajakku makan siang bersama teman-temannya. Kukatakan bahwa aku sedang mengerjakan sesuatu dan dia bilang, ‘Kau kan harus makan.’ Lalu Hyojin menelepon, disusul Hyunjo, selanjutnya Hyunwo, dan…”
“Hyunwo yang masi kecil?” Tanya Hiu hwi sambil tertawa melihat nada frustasi dalam suara Kyuhyun.
“Dia kan baru tiga tahun.”
“Ya, tapi dia tahu cara menelepon.” Kyuhyun menggelengkan kepala. “Aku tak bisa marah pada mereka. Mereka tak tahu bahwa itu sangat menggangguku.”
“Lalu bagaimana kalau kalian sudah menikah? Nanti akan lebih parah.”
“Ya, tapi nanti kan aku bisa marah.”
Keduanya tertawa kecil. Suasana akrab kembali tercipta di antara mereka, membuat mereka saling memperhatikan.
“Yah, semua kamar di sini tidaak dilengkapi telepon,” kata Hiu hwi, hampir tak bisa bernapas.
“Bagus untuk saat seperti ini.”
”Kata Hyojin kau akan bekerja sepanjang hari.” Hiu hwi berusaha agar suaranya terdengar normal. “Kurasa tinggal bab terakhir yang perlu kau selesaikan.”
Mereka sudah berada di bawah tangga, namun Kyuhyun terlihat enggan untuk segera naik ke lantai atas. Ia bahkan tak menjinjing koper dan mesin tiknya. Saat makan tadi, kacamatanya ia letakkan di atas kepalanya. Dan kini, kacamata itu dipakainya lagi, tapi bukan untuk membantu penglihatan melainkan agar ia bisa merapikan rambut dengan jemarinya. “Ya, tapi benar-benar sulit.”
“Bukankah kau tahu akhir ceritanya?” siku tangan Hiu hwi bertumpu pada pegangan tangga yang baru di poles hingga tampak mengilat. Sementara tangan satunya memainkan tali kimononya. Begitu sepi, suara mereka terdengar berbisik. Ia berusaha mengalihkan pandangannya dari dada bidang Kyuhyun di balik kemeja yang sebagian kancingnya terbuka, dan mencoba menepis angan-angan untuk menyentuhnya.
“Ya, tapi aku harus membuatnya sedemikian rupa agar tokoh utama dalam cerita itu berhasil mengalahkan tokoh antagonis. Aku juga harus menggambarkan akhir kisah cinta kedua tokoh protagonisnya.”
“Tentu itu takkan sulit kalau kau bisa berkonsentrasi. Kau ahli dalam membangun ketegangan dan aku yakin dari judulnya, Sleeping Mistress, kisah cintanya pasti tak banyak masalah.”
Kyuhyun tersenyum lebar. “Tapi si ‘Sleeping Mistress’ bukan perempuan.”
“Jadi dia laki-laki?” Tanya Hiu hwi terkejut.
Kyuhyun tertawa keras, kemudian menahan tawanya karena Hiu hwi memperingatkannya agar tak berisik. “Tokoh dalam cerita karangan Cho Kyuhyun tak mungkin begitu,” sahut Kyuhyun berlagak seolah ia tersinggung. “Kata mistress di sini bukan berarti ‘wanita’, namun rasa tanggung jawab si tokoh pria terhadap tugasnya. Semangatnya, dorongan dari dalam dirinya, serta apa yang membuatnya berhasil. Hal-hal tersebut memudar saat tokoh ini bertemu dengan tokoh perempuan, dan dia tak lagi bisa mengambil keputusan seperti dulu. Dia baru bisa kembali seperti semula menjelang akhir cerita.”
Hiu hwi tak sadar bahwa dirinya terpojok, berada di antara Kyuhyun dan tembok di belakangnya. Ia baru menyadarinya ketika belakang kepalanya menyentuh tembok saat ia menatap Kyuhyun. “Jadi si laki-laki harus melepaskan si perempuan?”
Kyuhyun mengangkat bahu, matanya menelusuri wajah Hiu hwi dalam kegelapan. Hiu Hwi dapat merasakan hembusan napas pria itu di kulitnya, terasa hangat dan harum. Ia ingin merasakannya. “Rasanya harus kubiarkan si tokoh utama menentukan sendiri apa maunya. Si tokoh perempuan juga harus mempertimbangkan sendiri apakah dia akan tetap mencintai laki-laki itu seperti yang diinginkannya, meskipun itu berat baginya.”
Bertepatan dengan itu, Hiu hwi merasa nyeri di dadanya. “Mungkin dia tak bisa mencintai, mungkin laki-laki itu memaksanya.”
Kyuhyun menggelengkan kepala tanpa melepaskan pandangannya dari wajah Hiu hwi. “Tidak, laki-laki itu kan tokoh utama dalam cerita ini, jadi dia tak mungkin memaksa. Lagi pula dia tahu, wanita itu sama bingungnya seperti dirinya sendiri.”
“Apakah wanita itu memang bingung?”
“Ya.”
“Jadi akhir ceritanya menyedihkan?”
“Paling bagus kalau akhir ceritanya mengandung manis-getir.”
“Rasanya aku tak ingin membaca cerita itu.”
“Mungkin kau harus membantuku menulis ceritanya.”
Hiu Hwi merasa Kyuhyun semakin mendekat, sehingga ia bisa merasakan kehangatan yang dipancarkan tubuh pria itu. Ia bisa melihat bayangan dirinya yang ketakutan pada kacamata Kyuhyun saat pria itu membungkuk ke arahnya. Hiu hwi melihat kedua bibirnya terbuka, begitu mengundang, sementara kelopak matanya meredup, seakan siap menerima ciuman…
Sayangnya kesadarannya segera bangkit kembali. Ia merapatkan tubuhnya ke tembok, berusaha tak menyentuh laki-laki itu, lalu berjalan menaiki tangga.
“Ayo, kuantar kau ke lantai atas.”
“Hiu Hwi.” Kyuhyun meraih pergelangan tangannya. Ini pertama kalinya pria itu menyebut namanya, dan nama yang keluar dari bibirnya itu terdengar indah. Hiu hwi memandang jemari yang mencengkeram pergelangan tangannya, kemudian pandangannya beralih ke wajah Kyuhyun. “Aku bisa mencari sendiri kamar di ujung lorong itu. Kau tak perlu repot-repot mengantarku,” kata Kyuhyun setelah beberapa saat mereka berpandangan.
“Kalau begitu, sampai jumpa sarapan nanti.” Mungkinkah Kyuhyun merasakan denyut nadi dalam genggamannya? “Sarapan dihidangkan antara pukul setengah delapan dan setengah sepuluh.”
“Di kamar?”
Tenggorokan Hiu hwi tercekat, sama kuatnya seperti cengkeraman di pergelangan tangannya. Ia membayangkan genggaman itu ada di dadanya dan membuatnya tenang. Ia merasakan sensasi di pahanya, seolah ada cairan mentega hangat mengalir di sana. “Maksudmu…?”
“Apakah kau bisa menghidangkan sarapan di kamar?”
“Kalau… kalau tamu meminta sarapannya diantar ke kamar, aku bisa bawakan.”
“Aku lebih suka begitu.”

_TBC_

One thought on “Special Guest Part 1

  1. bakal menarik nich kisah mereka berdua dijeju
    sepertinya sosok yang menjadi tokoh pemeran utama dinovel kyuhyun berkaitan dengan dirinya sendiri

    bahkan hiu hwi dah terpesona ma kyuhyun dan jangan bilang juga kalo kyuhyun juga ngrasain hal yang sebaliknya
    gimana ma hyojin calon istri kyuhyun

    ditunggu kelanjutannya ya

Leave a comment