(DONGHAE/ONESHOOT) Wedding Dress

 

Tittle: Wedding Dress

 

Author: https://m.facebook.com/profile.php?id=296714403848281&refid=17

 

Twitter: @sarahn901

 

Cast:

– Yoo Nara

– Lee Donghae

– Han Shang Jin

– Jung Yong Hwa

 

Genre: Sad, romance

 

Lenght: Romance

 

Rated: PG-17

Disclaimer: The original story pure of mine. All cast belong of themselves. Please! Don’t bash me and copy without permission. *-*

 

Cover by. Nabila Solicha

 

“Aku tidak bisa mencintaimu.”

 

“Akan jauh lebih baik jika aku tidak pernah melakukannya.”

 

“Cinta mungkin adalah melewati rasa sakitmu. Jika aku mengatakannya.”

 

Liuk hilir angin berembus dinginnya. Memercikan noktah bening yang jatuh bebas dari udara. Meniti kemudian melumuri langit dengan jutaan awan kelamnya. Sapuan sang tirta ternyata telah menyelimuti bumi. Seiring dengan terasanya keteduhan nan merebak. Membekas akan lekat pada dinding-dinding yang terasai. Di bawah langit yang bernyanyi oleh rerintik hujan. Seseorang itu menderu nafas seraya mengurai senyum kecil. Tepatnya menertawakan diri.

 

Langkahnya telah tertahan oleh hujan. Melangkahi waktu yang telah beranjak hampir setengah jam. Oh, Ya Tuhan anggap saja ini adalah ujian kesabaran. Yoo Nara yang bodoh dan jarang berpikir panjang. Gadis itu lupa untuk membawa payung. Begitu terngiang dalam ingatan ketika sang Eomma mencicit tentang musim yang tidak pernah menentu. Entah apa yang salah di sini, sepertinya tadi pagi Nara telah memasukan payung dalam tas kerjanya. Namun, sepertinya badai hilang ingatan menimpa gadis ini lagi. Tck! intinya dia pelupa.

 

Kemudian Nara termangu dalam hening. Senja di atas sana tak nampak hari ini. Terkikis oleh kristal bening yang dilihatnya lamat. Nyatanya, hujan memang selalu menjadi pemandangan indah yang tak pernah terelakan, bukan? Sadar ataupun tidak, ketika pernik mata menatap hujan, maka saat itulah pikiran kita layaknya terhipnotis. Melayang ke angkasa raya. Seperti sepenggal roll film yang ditayangkan di depan mata.

 

Yoo Nara mendesah berat. Tiba-tiba saja ia merindukannya. Adalah seseorang yang telah termiliki namun tidak bisa selalu hadir di hadapan. Hubungannya dengan Yong Hwa tak semanis orang yang berpacaran. Pria itu sibuk dengan agenda pekerjannya. Sangat sulit sekedar untuk mendengar suaranya setiap waktu.

 

Gadis itu mengerjap cepat ketika sebuah suara lembut menyapa indera pendengarannya. “Yoo Nara?”

 

Sedetik, kemudian Nara mengeryit. Mencoba mengingat seseorang itu, hingga, “Sun-sunbae?”

 

Pria itu tersenyum segaris. “Sunbae baru pulang juga? Oh, kenapa tidak membawa motor?”

 

Pria ini melipat lengan kemejanya hingga siku. Kemudian menatapnya lagi. “Ada sedikit masalah dengannya. Mungkin, ia membutuhkan istirahat.” Dilihatnya Nara yang tengah terkekeh. “Jadi, apa yang membuatmu berdiri lama di sini?”

 

“Kau lihat hujannya cukup deras. Aku tidak mungkin menerobosnya. Eomma bisa berkicau sehari semalaman.”

 

Lee Donghae― kali ini ia yang tertawa renyah. Oh, apakah gadis itu tengah mengemerutu padanya?

 

“Kalau hujannya seperti ini, biasanya lama. Kau masih mau menunggu hingga reda?”

 

Yoo Nara mengibaskan tangan cepat. “Terima kasih. Tapi, aku masih sayang dengan telingaku.”

 

“Memangnya siapa yang menyuruhmu hujan-hujanan? Aku membawa payung, Nara.” Gadis itu terlihat mengerutkan kening di tempatnya. “Kau mau ikut tidak?”

 

Lee Donghae telah membuka payungnya. Setengah berjalan di depan Nara. Sementara, menunggu gadis itu yang bergeming lama.

 

“Tapi, Lee Sunbae aku… Kurasa, aku bisa―”

 

“Aku tahu tidak ada yang menjemputmu. Kalau pun ada, kau pasti telah melakukannya sedari tadi.” Ucapan Donghae menghentikan Nara yang hendak meroggoh tas menggambil ponsel.

 

Gadis ini menghela nafas. “Tapi, aku tidak mungkin ikut denganmu, Sunbae. Bagaimana kalau…” Lagi. Yoo Nara kembali mengingatnya. Jung Yong Hwa, pria itu pasti akan kecewa dengannya. Ketika ia bekerja keras di luar kota, bagaimana perasaannya kalau melihat Nara dekat dengan pria lain seperti ini?

 

“Berhenti untuk memikirkan perasaan orang lain!”

 

“Huh?” Sesaat, Nara terhenyak dalam denting. Sekarang, bagaimana mungkin pria itu tahu jalan pikirannya?

 

“Begini saja, coba kau pikir rumah kita searah, bukan? Bahkan hanya berjarak beberapa langkah. Anggap saja ini adalah tolong-menolong sesama tetangga.”

 

Nara terdiam beberapa detik. Lalu, menyuara pelan. “Yah, sepertinya kau benar.”

 

Lee Donghae tersenyum. Ia sedikit bergerak menyisakan tempat untuk Nara. Pun keduanya berjalan beriringan, bernaung dalam payung yang sama di bawah guyuran hujan. Berbeda dengan keadaan di halte bis tadi, semua kata seolah teredam saat ini. Tertelan oleh sesuara gemerisik hujan yang bergemma. Di bawah langit yang sama, ketika tatapan itu saling bertemu, maka mereka tersenyum bersamaan. Tidakkah mereka seperti orang bodoh?

 

“Kau tahu, Sunbae? Rasanya aku seperti seorang anak yang diantar ayahnya pulang.”

 

“Ya! Kaupikir aku setua itu.”

 

“Hahah”

 

*****

 

Langit telah menggantung rembulannya. Ditemani kerling noktah yang memutarinya. Selalu begitu, ketika hujan telah usai. Maka lukisan langit di atas sana akan nampak sangat cerah. Layaknya membasuh kekusaman yang ada. Yoo Nara mengembuskan udara dari bibir sedetik. Iris kehitamannya terus saja berarah sayu pada hiasan itu. Adalah sang bintang yang ditatapnya dengan kedua tangan bersandar pada balkon kamar.

 

Terdengar aneh memang. Saat senyap terasa di relung. Maka gadis itu seolah meluapkan kesunyianya pada bingkai langit. Nara yang kesepian. Sama sekali, ia tidak punya teman berbicara ketika kerinduaan itu menjelma. Bayangkan dalam satu bulan, Nara bahkan hanya beberapa kali saja bertemu dengannya. Menyedihkan. Kemudian, gadis itu mengerjap hingga menemukan siluet seseorang.

 

Ia yang terlihat berjalan mondar-mondir di seberang sana. Tanpa sadar ujung-ujung bibirnya menarik tawa kecil, seraya bergumam lirih. “Kurasa gadis yang ada di sampingnya pasti sangat beruntung sekali. Dia pria yang baik.”

 

Sesaat, kemudian Nara meruntuki dirinya. Ah, apa yang dikatakannya. Sepertinya, ia sudah gila hari ini! Hanya karena pernah sepayung dengannya sore tadi, kenapa otak Nara seakan jadi sedikit bergeser?

 

Dengan langkah cepat. Pun Nara membawa tungkai kakinya, kembali ke kamar.

 

Sementara, Lee Donghae terhenti dalam gerak jalannya. Pernik hitam matanya tercenung, menemukan sosok seseorang yang terlihat membalikan tubuh dan berlalu pergi di seberang sana. Selarik berikutnya, ia tersenyum cerah. “Gadis yang lucu. Pasti beruntung sekali pria yang ada di sisinya. Sepanjang hari mungkin akan selalu terasa berwarna karenanya.”

 

Lee Donghae termangu untuk beberapa saat. Ah, apa yang dipikirkannya? Apa karena kepalanya terus berdenyut sedari tadi, jadi tidak bekerja dengan baik?

 

*****

 

Bayangan panjang seseorang itu telah terlihat. Membawa senyum teduh yang kerap kali membuatnya terperosok dalam lubang rerasa. Ujung-ujung bibirnya terangkat dan mengembang sedemikian indah. Kemudian, tercenung ketika sentuhan kecil terasa di pucuk kepala.

 

“Aku merindukanmu!”

 

“Kau pikir aku tidak?” Gadis ini merengut. Dengan setitis bening yang menggantung di pelupuk mata.

 

“Untung saja rindu itu gratis. Coba kalau bayar, aku tidak tahu berapa kerugian yang harus kuperoleh, Yoo Nara.”

 

“Jadi, kau memperhitungkannya?” Pria itu tersenyum kecil.

 

“Jangankan dunia, hidupku pun aku rela mengadaikannya untukmu.”

 

Yoo Nara mendecih mendengarnya. “Kau menggodaku. Oh, sayang sekali itu sama sekali tidak―”

 

Yoo Nara tersenyum, seiring dengan tangan yang perlahan terangkat. Membiarkan indera penciumannya terisi penuh akan wangi tubuh seseorang ini. Juga hangat desah nafas yang membentur ceruk lehernya. Jung Yong Hwa merengkuhnya. Dan, itu cukup mampu menguapkan rindu yang sempat ada ke udara bebas.

 

“Aku selalu berusaha untuk mengertimu. Jadi, jangan terus-menerus merasa bersalah. Kalaupun, aku sempat marah padamu. Itu berarti bukan aku yang sebenarnya.” Jung Yong Hwa tersenyum namun tak mampu membendung harunya. Sekarang, bagaimana mungkin gadis ini bisa untuk paham? Sedangkan, tanpa berucap sepatah kata pun ia selalu saja mengetahui tentang apa yang tereja di hatinya.

 

“Aku tahu Yoo Nara yang ada dihadapanku ini sudah sangat dewasa.” Yong Hwa melepas rengkuhannya. Menatapnya lamat.

 

“Kenapa baru sadar?” Nara memukul kecil lenganya. Ia tertawa sumbang di sela-sela tangis. Kemudian, ia meringis tatkala tangan hangat Yong Hwa telah menggantung di bahunya. Segaris pandangan mereka saling bertemu. Lagi. Yoo Nara menyuara samar. Bagaimanapun ia tidak mampu berada dalam keadaan yang seperti ini. Deru nafas layaknya tak ada jarak. Ia mencoba mengikis kekikukan yang hinggap. “Aku janji tidak akan melakukannya lagi. Terlihat bodoh, ya?”

 

Yong Hwa mengeleng lemah. Lalu, menyentuh permukaan wajah Nara. Entah sadar ataupun tidak tetap saja itu sedikit banyak membuat gadis itu berdesir. “Yoo Nara?” Ia berkata dengan nada yang begitu lembutnya.

 

“Huh?”

 

“Apa kau sering tidur malam, ya? Kenapa terlihat mata panda di sini!” Pria ini tertawa lepas setelahnya. Dengan tanpa dosa, ia mengenggam tangan Nara, membawanya berlarian kecil. Seolah tak melakukan apa-apa tadi.

 

“Ya! Jung Yong Hwa! Kau mengerjaiku?”

 

*****

 

“Cah, sudah sampai!”

 

“Oh?” Gadis ini mengerjap ketika sudut pandangannya berpusat pada papan nama yang tertera di sana. Mobil Yong Hwa terhenti di sini? Apa dia sudah gila?

 

“Ayo kita turun!” Pria ini baru saja hendak melepaskan sabuk pengaman. Hingga sesuatu yang lembut menahannya.

 

“Apa-apaan ini?” Yoo Nara merasakan dirinya begitu tercekat. Ia tak yakin suaranya akan terdengar dengan baik.

 

“Sudah seharusnya, Ra-ya. Aku sadar sepenuhnya, begitu banyak harapan yang tertuang di benakmu. Tapi, orang bodoh ini justeru terlalu lama untuk menyadarinya.” Yong Hwa membelai helai rambut Nara seraya tersenyum sendu.

 

“Yong Hwa, aku…” Yoo Nara menggantung ucapannya. Kembali membendung air mata.

 

“Maaf jika terus membuatmu bingung karena menungguku untuk mengerti, Ra-ya.”

 

Gadis itu mengangguk cepat. Ia nyaris tak menemukan suaranya yang kian meluruh seperti lilin. Bening telah jauh menghalangi pandangannya. Dan, jemari Yong Hwa menyekanya.

 

“Mulai saat ini, kau hanya boleh menangis untukku saja. Tidak yang lainnya, Ra-ya.” Yoo Nara tersenyum mendengarnya. Beriringan dengan rengkuhan erat olehnya. Tuhan, sekarang ini bahkan lebih dari layaknya kebahagiaan yang tak bersyarat?

 

*****

 

Lee Donghae terpekur dalam jengah. Ini sudah berlalu hingga satu jam lamanya. Namun, tetap saja seseorang itu belum menemukannya. Dilihatnya gadis yang ada di sisi berkali-kali menghela nafas panjang dengan sesekali mendengus frustasi. Ia menatap lirih ketika tangan Donghae menepuk pundaknya. Seolah menyiratkan semuanya akan baik-baik saja.

 

“Rasanya aku tidak bisa untuk bersabar lagi, Oppa. Apa kita perlu menggantinya saja?”

 

“Tidak perlu. Kau sudah terlalu jauh mendesainnya, barangkali saja hanya terselip ’kan?” Donghae mencoba tersenyum kearahnya. Kendati ia tak yakin apa mampu membuat seseorang di depannya tenang.

 

“Kau benar. Tapi, tidak seharusnya mereka seceroboh itu!”

 

“Han Shang Jin, sudahlah. Kau seharusnya lebih bisa mengendalikan dirimu.” Lee Donghae, tanpa sadar ia menekan setiap ucapannya. Bagaimanapun, ia sudah terlalu pusing memikirkan pekerjaannya yang tertunda karena menuruti permintaan Shang Jin. Dan, setelah jauh-jauh datang kemari apa yang diperolehnya? Hanya umpatan serta cercaan yang mendenging telinga.

 

“Kau membela mereka, Oppa? Apa kaupikir kejadian ini tidak berpengaruh dengan pernikahan kita?” Gadis ini menghela nafas kasar setelahnya.

 

“Tidak seperti itu. Tapi, seharusnya kau lebih berpikiran jernih lagi. Kau tidak bisa memperlakukan orang lain dengan cara yang seperti ini.”

 

“Lalu yang seperti apa? Mereka bersalah, siapapun pasti melakukan hal yang sama jika apa yang seharusnya dikerjakan tidak dibiarkan terbengkalai begitu saja.”

 

Lee Donghae mendesah pelan. “Aku tahu. Tapi, kalau kau terus memarahi mereka. Lalu, bagaimana mereka bisa fokus mencari gaun pengantinmu? Kau hanya perlu bersabar, mungkin semua akan membaik setelah ini.”

 

Gadis ini termenung untuk beberapa detik. Ia menatap Donghae dalam geming, lalu. “Kau tidak tahu betapa lelahnya aku mengurusi sendiri semuanya, Oppa. Sekali saja aku bertanya, apa pernikahan ini penting bagimu?” Han Shang Jin mendesis. Bulir beningnya telah terjun bebas dari sudut mata tanpa tertahan.

 

Donghae ingin menyentuh bahu tunangannya. “Shang Jin, kau salah paham. Ini tidak seperti―”

 

“Aku perlu menenangkan diri. Kau benar!” Dalam satu kali hentakan, pun ia menyeka air matanya kasar. Berlalu pergi tanpa mengindahkan apapun lagi.

 

“Han Shang Jin!”

 

Pria itu mengejarnya. Namun, di waktu yang sama pendaran matanya menemukan siluet seseorang. Adalah ia yang berpapasan jalan dengannya. Tepat saat Donghae membuka pintu yang tak beda dengannya. Untuk beberapa detik mereka saling bersitatap lama. Memilin jeda yang terasa merayap lambat. Kemudian, saling menguar terpecah, ketika salah satunya perlahan menjauh pergi. Menyisakan sang gadis yang menyuara lirih.

 

“Lee Sunbae?”

 

*****

 

Dibawah langit yang sama. Namun, berbeda atap juga naungannya. Pun kedua insan ini terbuai akan tidur lena. Mengulung manik mata yang masih memekat dalam mimpi. Seperti dongeng yang hidup dalam dunia nyata, mereka melengkuh bersamaan. Meningkahi sesuara bising dari ponsel masing-masing. Sepasang manusia ini meracau tak jelas, mencerca pada siapa yang berani menganggu di hari libur seperti ini!

 

Dengan mata yang setengah terbuka, keduanya menghenyangkan badan ponsel ke telinga. Berucap sumbang, khas orang bangun tidur. “Yeoboseyo?”

 

“…”

 

“Ya, saya sendiri.”

 

“…”

 

“Mwo?!”

 

Sejurus kemudian, keduanya langsung beranjak. Bersiap pergi seraya kembali mengumam tak karuan.

 

*****

 

Yoo Nara yang baru saja merunduk karena berniat mengambil ponsel dari tas, dibuat tercenang seketika. Ia sampai sedikit menyipit untuk memastikan apakah dirinya tak salah lihat. Namun, tetap saja seseorang itu memang benar adanya. Seharusnya, Jung Yong Hwa yang ada di sana, bukan? Seingat Nara tadi yang menelpon mengatakan, bahwa ia dan calon suaminya disuruh datang lagi ke butik tempat mereka mendesain busana pernikahan. Tapi, ini …

 

Ah, mungkin hanya perasaannya saja. Kebetulan, bisa jadi ’kan? Tapi, bukankah tak ada yang kebetulan di dunia ini? Segala peristiwa apapun itu, semua sudah tertulis oleh takdir Tuhan. Lagi-lagi Yoo Nara meruntuki diri. Oh, astaga ini pasti karena ia terlalu banyak baca buku dan novel fantasy! Gadis ini jadi sering menerka yang tidak-tidak.

 

Bertemakan gundah yang susah payah dihempasnya. Ia mengambil langkah panjang. Berdiri di sampingnya kemudian membalik wajah dengan tersenyum samar. “Lee Sunbae?”

 

Sepersekian detik pria ini tercenung di tempatnya. Seperti Nara ia juga menderaikan senyum, semu. “Nara?”

 

Keduanya hanyut dalam sunyi beberapa menit. Lalu, sebuah suara datang.

 

“Kalian sudah datang rupanya?”

 

Seketika, kemudian mereka mengarahkan pandangan pada seseorang yang telah berdiri di hadapan. Seperti orang bodoh keduanya meruntun langkah. Mengikutinya dengan air muka yang sama-sama …

 

“Baiklah, saya akan menjelaskan. Begini Tuan dan Calon Nyonya, kami akan mengganti gaun yang hilang itu. Sebelumnya, sebagai pemilik butik ini sungguh meminta maaf atas kelalaian pegawai kami. Dan, mereka pun telah saya keluarkan sebagai hukumannya.” Wanita ini menghentikan langkah. Lalu, merundukan tubuh pada Donghae juga Nara yang masih tercengang di tempatnya.

 

Yoo Nara ingin menjelaskan. “Maaf, tapi sepertinya Anda―”

 

“Anda tenang saja, Nyonya.” Wanita yang diyakini berusia tak terlalu jauh dari Nara ini tersenyum, kemudian menjentikan jari. Tak butuh beberapa lama sekumpulan pegawai saling berdatangan, membawa jas juga gaun pengantin.

 

Sedetik, sontak keduanya mengerjap gamang. Tanpa sadar tubuh mereka telah terbawa arus oleh beberapa orang itu dengan sesekali bersitatapan layaknya meminta penjelasan satu sama lain. Namun, sekarang apa masih bisa? Sedangkan, untuk berucap sepatah kata pun serasa sangat menyulitkan. Tck!

 

*****

 

Seperti awan yang begitu indah nan bergerumul putih di atas sana, maka begitulah tatkala Lee Donghae melihatnya. Seseorang yang tampak sangat cantik juga lembut dengan gaun putih yang membalut tubuhnya. Kornea matanya seolah hanya menitahkan untuk mengakar pada wajah itu saja. Ia bahkan tak yakin apakah nafas sudah dihirupnya sejak tadi? Setelah Yoo Nara keluar dari kamar ganti beberapa detik yang lalu.

 

Lee Donghae masih tercenung dengan bibir yang setengah terbuka, ketika sebuah suara menggema. Alih-alih pun ia tergelak karenanya.

 

“Sedikit banyak kami merubah desainnya, tapi tetap tidak mengurangi apa yang Nyonya Nara inginkan. Terlihat elegan dengan serpihan permata putih yang berada di bagian tengah gaun, tapi juga sederhana dengan bordiran khas seperti hanbok yang sarat akan kebudayaan negri kita. Sopan, namun tetap cantik.”

 

Setelahnya, baik Nara maupun Donghae tak mendengar apa-apa lagi. Ataupun sekedar membuka suara. Rasanya mereka seperti terjebak dalam jutaan aksara. Hanya saling memandangi jauh dengan hati yang penuh akan tanda tanya besar. Tentang semua, juga … Ya Tuhan, sebenarnya apa arti dari kesalahan ini? Sebenarnya, begitu sederhana, bukan? Hanya perlu menjelaskan. Tapi sekarang kenapa begitu tak mudah untuk menarik diri? Kembali ke dunia nyata. Bahwasanya, apa yang terjadi sekarang hanyalah kesalahpahaman.

 

“Baiklah, karena ini adalah busana terbaru kami. Maka apakah kalian keberatan jika kami akan mengabadikannya?”

 

“Huh?”

 

Lagi. Keduanya harus menyiapkan hati ketika secara bersamaan jarak mereka semakin dekat. Menghantarkan pada ujung simpul perasaan yang menerpa. Antara gugup juga penuh akan ketidak mengertian.

 

“Sebaiknya, tangan Anda di pinggang Nyonya Nara, Tuan Lee.” Wanita itu berkata kembali.

 

Sekarang, posisi mereka dibuat saling berhadapan, dengan sepasang tangan Donghae yang bergelanyut di pinggang Nara. Begitupun sebelah tangan Yoo Nara yang dibiarkan terbuka terletak berbeda, pada dada bidang dan bahu Lee Donghae. Tak tahukah dunia, sesungguhnya kedua manusia ini begitu kikuk saat ini?

 

Dengan setengah berbisik, Nara meyuara tertahan, “Lee Sunbae, ini salah. Sama sekali tidak benar. Sekarang bagaimana mungkin bisa terjadi?”

 

Lee Donghae bergeming. Ia menatapnya dalam. Lalu, “Aku pastikan akan segera berakhir. Kau hanya perlu tenang dan mengikutiku saja. Apapun yang terjadi, aku pasti bertanggung jawab.”

 

Gadis ini mencoba mengangguk kecil. “Saat ini aku bahkan tidak punya cukup alasan untuk tak percaya padamu,’kan?”

 

Lee Donghae tersenyum segaris mendengarnya. “Ini bukan hanya tentang kesalahan pahaman antara kita dan butik saja, Sunbae. Melainkan juga―”

 

“Cah! Bisa dimulai?” Wanita ini sedikit tersenyum ketika sadar telah menyela pembicaraan kecil calon pengatin di hadapannya. Oh, mungkin saja ia berpikiran mereka tengah saling mengungkapkan perasaan ataupun kekaguman masing-masing tadi. Mengingat keduanya begitu dekat dengan suara yang nyaris hanya terdengar oleh mereka saja.

 

*****

 

Bertemakan sepi yang menjalar, pun keduanya terjerembab dalam tiada kata. Hanya sesekali termangu dan―

 

“Kau tidak perlu berpikiran jauh, semua pasti akan…”

 

“Apa kau yakin tidak akan apa-apa?” Langkah Nara terhenti seiring dengan terlontarnya ucapan ini. Jelas terlihat ia tidak baik-baik saja.

 

“Tidak, Nara. Semuanya pasti akan membaik. Kau tidak perlu cemas.” Donghae tertegun. Ini kali pertamanya ia menemukan raut wajah Nara yang setegang sekarang.

 

“Aku hanya beranggapan, karena telah merusak hubunganmu, Sunbae.” Gadis ini kembali mengingatnya. Beberapa skinship terjadi tadi, di saat pemotretan. Entah hanya sekedar merengkuh dari samping ataupun yang menjurus lebih, seperti Donghae yang mencium kening Nara. Ya Tuhan, sedangkan Yong Hwa saja jarang melakukannya. Pria itu terlalu kaku. Tapi, sekarang apa tidak keterlaluan namanya? Ketika Nara justeru mendapatkannya dari orang lain.

 

“Kau ini bicara apa? Tidak ada yang bersalah di sini. Aku sendiri yang akan membenarkannya untukmu, huh?”

 

“Tadinya aku ingin biasa saja. Tapi, entah kenapa hatiku selalu mengatakan yang sebaliknya, Sunbae. Aku tidak bisa untuk tenang.” Lee Donghae memandangnya lama. Perlahan sekali tangan Donghae terulur menyentuh pundak Nara. Seperti Nara pun ia sendiri tidak dapat memungkiri, bahwa ada sejumput kegelisah di sini. Terlebih, terlalu banyaknya penghalang, ketika mereka ingin memberikan penjelasan. Ini seperti kebetulan yang tidak biasa.

 

*****

 

Pria itu melihatnya. Ketika angin membisikan aroma muram, pemandangan di balik dinding tak berongga. Tungkai kakinya ingin bergerak pergi, namun hati? Sekilas ia melirik dalam geming. Bertemankan sepi yang menghilir. Lee Donghae― pria itu sama sekali tidak bisa bergerak ataupun melangkah pergi, ’kan? Tadinya ia ingin mencari angin segar keluar rumah, namun ketika baru menjejali langkah. Pun ia justeru menemukan penglihatan yang seperti ini.

 

“Kau sendiri yang mengatakannya. Tapi, kenapa sekarang sangat berbeda? Lalu harapan bagaimana yang sebenarnya kau tahu, Jung Yong Hwa?”

 

“Aku janji akan kembali setelah ini, Ra-ya.” Pria itu terlihat tak berniat mengindahkan ucapan Nara. Ia hanya mengenggam tangan gadisnya seraya mengelus, lembut.

 

“Sesungguhnya, bukan ini yang ingin kudengar. Kau tahu? Terkadang, aku merasa seperti layangan angin di atas sana, kau bisa bebas menarik ulur tentang semuanya. Perasaanku juga kesetian hubungan kita.” Setitis noktah bening mengalir di sudut mata Yoo Nara, dan pria itu segera menyekanya.

 

“Kau tahu aku tidak seperti itu, Ra-ya. Kau hanya perlu menunggu sebentar lagi. Lakukan itu untukku, huh?”

 

“Aku ingin mempercayaimu. Aku ingin selalu menunggumu hingga tak ada batasan.”

 

Kali ini pria itu menarik tubuh Nara. Mereka berpelukan untuk beberapa lama. Menyisakan Lee Donghae yang berkabung akan pekur. Ia nyaris tak berpikiran apa-apa. Hanya berdiam diri, tanpa pernah tahu entah ini salah ataupun benar. Perasaannya.

 

“Berjanjilah untuk tetap baik-baik saja, Ra-ya. Jangan terlalu lelah dan berpikir yang berat. Kau tentu tahu aku selalu bisa merasakannya.”

 

Gadis itu mengangguk kecil. Setelahnya. Terlihat sang pria mengusap puncak kepala Nara perlahan, sebelum berbalik pergi bersama mobilnya. Gurat mendung begitu kentara di sana. Dalam ukiran wajah yang sedari tadi tak lepas menjadi objek penglihatannya. Yoo Nara yang larut akan kesedihan sepeninggalan seseorang itu kini memutar tubuh, berbalik pergi ke rumah. Tanpa sekalipun menyadari keberadaan Lee Donghae.

 

Pria ini membatu di tempatnya. Menatap lirih sekelilingnya. Membersamai malam yang meretas senyap. Tuhan, sekarang apa yang salah di sini? Bagaimana mungkin semuanya perlahan menguap ke udara bebas? Tentang rajutan takdir yang mungkin saja tak pernah senyata.

 

*****

 

Yoo Nara melangkah begitu saja melewatinya. Tanpa sekalipun mengalihkan pandangan kearahnya atau sekedar tersenyum. Kenyataannya di sini, adalah Lee Donghae yang telah berdiri tak jauh dengan memasang senyum terbaik seperti hari-hari kemarin. Sekarang, apa sebegitu tak terlihatkah dia?

 

Paham, seharusnya ia lebih mengerti tentang keadaan sekarang ’kan? Segala sesuatu bisa menjadi mungkin untuk saat ini. Termaksud, menghindarinya. Ya, bisa saja!

 

Menit selanjutnya. Lee Donghae semakin menurunkan kecepatan mobil, tatkala sadar gadis itu semakin perlahan dalam memanjangkan langkah. Seperti orang bodoh, ia memang tengah mengikuti Nara. Lalu,

 

TINNNNNNNN

 

Gadis itu tak pelak terperanjat seketika. Ia menoleh tak berarah, hingga kemudian menemukan wajahnya. Seseorang yang sama terkejut seperti dirinya. Bedanya mungkin ia terlihat tercengang karena baru saja akan menabrak seekor kucing kecil. Yoo Nara menyadarinya, ketika melihat pendaran mata Donghae yang terbelalak pada sesuatu di hadapan.

 

“Sunbae, apa kau baik-baik saja?”

 

*****

 

“Apa yang membuatmu melamun tadi? Apa Sunbae masih memikirkannya sama sepertiku?” Yoo Nara sedikit mencondongkan tubuh. Sebelah tangannya memegang wajah Donghae dengan satu lagi yang menekan perlahan luka di dahi pria itu dengan kapas yang sudah diolesin alkohol. Sepertinya, ia terkena benturan karena kecelakaan, tadi. “Maaf, tapi sepertinya ini lumayan perih, Sunbae.”

 

“Akh.” Lee Donghae meringis tertahan. Tanpa sadar tangannya mengenggam lengan Nara. Dan, cukup membuat jarak mereka semakin terkikis. Dalam hening juga sesuara riuh angin tatapan itu saling bertemu untuk beberapa lama.

 

Yoo Nara mendehem kecil. “Aku akan sedikit lebih lembut.” Anggaplah Nara tidak pernah melihat apa-apa. Anggap saja ia juga tak merasakan hal selebihnya. Ya Tuhan, sekarang bagaimana ini? Kenapa setiap sentuhan juga sepasang netra teduh miliknya, seakan terus saja membawa Nara hanyut dalam resah hati?

 

Entah perasaan gadis itu saja atau bukan. Namun, ia merasa nafas Donghae telah berderu pelan di kulit terluar wajahnya. “Yoo Nara, kurasa aku…”

 

“Sunbae, sepertinya aku harus pergi!” Beralaskan desir yang belum bisa terjelaskan. Pun Nara beringsut bangun dari sandarannya di mobil Donghae. Berlalu pergi tanpa sedetik saja membalikan wajahnya kembali; melihatnya.

 

“Kurasa, aku menyukaimu, Nara…” Seperti serpihan debu, suaranya serasa terhempas oleh angin.

 

*****

 

“Aku mencintaimu,

Tapi aku tidak bisa membuatmu jatuh ke dalam pelukanku.”

 

“Yang kucintai kini tak akan kembali lagi.”

 

Seseorang, tolong buatnya mengayunkan langkah dengan kuat. Sekuat-kuatnya. Sekarang, bagaimana mungkin hanya karena angin juga tatapan sendunya, ia merasakan tubuh seolah meluruh dalam lemah yang tiada bertepi? Apakah ada Tuhan, tentang samudra yang luas itu. Tempat akhir dimana ujung sebuah pertemuan. Ya, tepi ketika ia dapat melihatnya lagi. Meski, dari jarak terjauh sekalipun.

 

Yoo Nara menatapnya tertegun. Adalah seseorang yang berdiri di bawah sana. Ia yang hendak memasuki mobil namun sempat melihat Nara yang yang tengah terpekur di balik tirai kamar. Dalam perasaan yang tiada terperi mereka terdiam cukup lama. Dunia terasa sangat menyakitkan ketika perpisahan ada di depan mata, namun kita tidak bisa melakukan apa-apa, bukan?

 

Seperti Yoo Nara dan Lee Donghae.

 

Secara perlahan tungkai kaki Donghae semakin menyeretnya menjauh, masuk lebih dalam ke mobil. Bersama kepergiannya, maka di saat itu pula Nara mendesah sumbang. Ya Tuhan, sekarang bahkan sekedar ucapan perpisahan atau senyuman terakhir pun tidak bisa ia uraikan…

 

Menyedihkan. Yoo Nara bahkan sangat mengingat jelas ucapan Ibunya. Alasan di balik kepergian seseorang itu.

 

“Lee Donghae terpaksa dipindahkan ke tempat yang cukup dekat dengan tempat kerjanya, Ra-ya. Keluarga Lee sepertinya tak tahan menanggung malu, karena pembatalan pernikahan putra bungsunya. Maka dari itu untuk sementara ia dijauhkan dulu, terlebih dari amarah keluarga besarnya. Oh, astaga kau tahu? Semua tetangga bahkan terus membicarakan tentang berita ini.”

 

*****

 

“Sepanjang malam aku mencoba untuk menghapusmu dari pikiranku

Kau selalu ada dihatiku.”

 

“Tapi, aku tidak bisa mencapaimu.”

 

Rinai hujan mungkin telah menghunjami sang mayapada hingga beberapa menit yang lalu laiknya. Beriringan pernik mata sayu lalu senyuman renyah. Terbang sebambangan menariknya dalam sekelebat ingatan. Tentang hujan juga… Titian perasaan yang hingga kini belum mampu diterjamahkan. Cerita mengenai detak jantung yang serasa bergeming hanya karena satu orang saja.

 

Yoo Nara mengatupkan kelopak mata, ketika terasa embun hangat mengalir di sana. Mengundang luka. Sekumpulan angin berbisik diantara derai hujan, oh mungkin saja itu yang membuatnya menangis. Ini adalah hujan pertama di musim semi tahun sekarang. Tepatnya satu tahun berlalu setelah kepergiaan beberapa orang itu. Mereka yang pernah menorehkan sepenggal kisah.

 

Yoo Nara membasahi bibirnya, ketika dirasakan ponselnya bergetar. Kemudian, menyuara. “Yeoboseyo?”

 

“Ya?”

 

“Ta-tapi, saya bukan…”

 

Detik selanjutnya, Nara mendengus gamam. Panggilan itu telah diputuskan sepihak oleh lawan bicara. “Oh, Ya Tuhan ada apa lagi ini?”

 

***

 

Apakah kau pernah merasakan ketika iris mata menatap seseorang, lalu nadimu seolah berdenyut merdu? Layaknya menapak pada dinding pelangi. Begitu membahagiakan. Lee Donghae― pria itu kini mengalaminya. Ketika setiap inci penglihatannya seolah terhenti pada satu arah saja. Senyumannya perlahan terbit, kala suara seseorang itu sayup terdengar.

 

“Pasti ada kesalahan, Nona. Tidak mungkin aku orangnya. Butik ini memang pernah mengecewakanku dulu, setahun yang lalu. Tapi, itu sudah lama. Dan, aku sudah memaafkannya.”

 

“Saya tidak salah, Nona. Atasan saya sendiri yang memberikan nomer Nona.”

 

“Tapi, saya bukan model ataupun sejenisnya.” Gadis ini menurunkan nada suaranya di akhir.

 

“Ah, syukurlah kalian sudah datang rupanya?”

 

Tidak peduli tanpa melihat. Ataupun salah satunya, tak menyadari kehadiran seseorang lain. Pun keduanya mengerutkan kening dalam waktu yang sama.

 

“Huh?”

 

Denting jarum jam membuatnya kembali tersenyum. Adalah ketika ia telah menyaksikan sendiri dua pasang insan itu sudah menyudahi riasannya. Entah sadar ataupun tidak, namun nyatanya wanita inilah yang seakan menjadi jembatan antara dua hati.

 

Yoo Nara mencoba tersenyum, di saat manik mata Lee Donghae masih saja memandanginya. Ia harus menghela nafas berat, ketika tangannya digantungkan pada bahu pria itu oleh beberapa orang. Oh, Ya Tuhan sekarang bagaimana bisa ia membiarkan saja ini terjadi untuk kedua kalinya?

 

“Kau tahu apa itu pernikahan bisnis?” Suara Lee Donghae berhasil memecah keheningan yang sempat ada di relung hati Nara. Dilihatnya, gadis itu hanya mengeleng lemah. “Pernikahan bisnis adalah pernikahan untuk mengikat dua perusahaan yang berkembang. Dengan cara menikahkan dua orang pewaris harta. Rasanya itu sungguh tidak menyenangkan, Ra-ya. Bagaimana tidak? Sedangkan untuk kehidupan yang lebih pribadi pun harus diatur oleh orang lain. Bukan berdasarkan arah hati.”

 

Sesaat Nara termangu mendengarnya. Ada kesedihan di balik bola mata itu, ia bisa merasakannya. Kemudian, gadis ini tersenyum simpul. “Dan kau tahu? Apa itu cinta jarak jauh?” Lee Donghae tersenyum lalu mengeleng kecil. “Cinta jarak jauh itu adalah ketika kau harus hidup dalam penantian yang panjang. Menunggu tanpa ada batasannya. Semula, aku pikir itu sangat menyenangkan. Karena dengan adanya jarak maka mungkin kerinduan akan saling bermunculan. Tapi, ternyata tidak. Sulit sekali rasanya untuk terus paham ketika yang ditunggu justeru tak mengerti. Tentang ujung dari sebuah kesabaran dan penantian.”

 

 

Sedetik, lalu keduanya mematung dalam serbuan rona bahagia yang mengudara. Kemudian, menyuara bersamaan.

 

“Aku senang kau baik-baik saja.”

 

Seperti memutar kilas balik kejadian yang ada. Mereka mendengar ucapan yang sama seperti saat itu lagi.

 

“Cah! Bisa dimulai?”

 

FIN

 

“Aku sudah hidup berbohong terlalu lama.”

 

“Namun, dia akan melihatku dan tersenyum ’kan?”

 

6 thoughts on “(DONGHAE/ONESHOOT) Wedding Dress

  1. andai katakatanya agak dipermudah lagi. Feelnya sih dapet, cuma katakata sulitnya yang bikin otak kerja keras buat mikir, hehe~

    ohiya, bisa minta tolong untuk mampir dan baca ff saya?

    FF Lomba 17 – [Goodbye Like Yesterday]

    Saya pemula, ini juga ff oneshot pertama saya^^ bukan soal menang atau kalah, tapi saya butuh kritik dan saran untuk kedepannya. terimakasih sebelumnya~

  2. Semenjak fitting dress pernikahan yg sbtlnya adl Jihyun dan Donghae oppa tp jd Nara Donghae oppa, rasanya Donghae oppa jatuh cinta pd Nara yg sbtlnya jg sdh memiliki kekasih hati dgn hub LDR bersama Yong Hwa dan sepertinya yg akan mengalami pernikahan bisnis itu Donghae oppa dan Jihyun, msh bgg endingnya itu mrk jd pacaran atau hny sekedar mjd model baju pengantin kembali, donghae oppa pasti membatalkan pernikahannya krn ia rasa hub pernikahan bisnis itu tdk bs dilakukan apalagi pernikahan itu hrs ada hati, cinta dan perasaan

Leave a comment