[DONGHAE]|| SERIES Love by Accident (Part 18) END

Title : Love by Accident

Author : Zatha Amanila

Casts : Lee Donghae, Han Chaerin, Henry Lau, Yoon Hara

Genre : Romance

Rating : General

Length : Chaptered

 

~~~~~

 

DONGHAE’S POV

Tap! Tap! Tap!

Aku berjalan sambil menenteng satu plastik berisi dua kotak susu dari minimarket yang berada di dekat rumah sakit. Hari ini hari terakhir Chaerin menginap di rumah sakit setelah seminggu dia terbaring dalam diam di atas ranjang. Aku sangat sedih melihatnya seperti itu. Aku jauh lebih suka kalau dia bersikap ketus dan beradu mulut denganku dari pada melihatnya diam dan murung seperti itu. Hatiku benar-benar sakit.

Kulangkahkan kakiku cepat menuju kamar di mana Chaerin dirawat. Hari ini Eomonim datang untuk membantuku menyiapkan keperluan Chaerin sebelum meninggalkan rumah sakit. Selama seminggu ini, aku tidak menerima pekerjaan apapun, aku fokus merawat Chaerin hingga dia mau berbicara lagi denganku.

Ting!

Pintu lift terbuka di angka 5. Aku segera berjalan menuju kamar sebelum akhirnya langkahku terhenti di depan pintu saat kudengar suara Eomonim mengalun dari dalam kamar.

”Eomma sedih kau seperti ini, Chaerin-ah. Bicaralah. Jangan buat suamimu merasa terus bersalah.” suara Eomonim terdengar pilu.

”Eomma mengerti ini sangat berat bagimu, tapi Eomma mohon… Donghae-ssi sudah merawatmu selama kau di sini. Dia sangat sabar menghadapi sikapmu yang tidak mau bicara padanya. Eomma bisa lihat dia sangat mencintaimu, Chaerin-ah. Jadi tolonglah, jangan buat dia sulit.”

Aku menghela napas dalam.

”Aku tidak membenci siapapun, Eomma.”

Kutolehkan kepalaku cepat ke dalam kamar. Aku tidak salah kan? Chaerin bicara?

”Aku tidak membenci Eomma, Donghae, atau siapapun juga. Aku hanya membenci diriku sendiri.” ujar Chaerin parau. Aku masih enggan untuk masuk ke dalam karena kupikir Chaerin mungkin akan berbicara lebih banyak lagi. Aku sudah cukup lega mendengar suaranya lagi.

”Lalu kenapa kau tidak mau berbicara padanya selama seminggu ini? apa kau tidak tahu Donghae-ssi begitu menderita?” Eomonim bersuara lagi.

”Aku tidak tahu, Eomma. Aku tidak tahu…”

Kudengar Chaerin mulai terisak. Eomonim membelai rambutnya. Kugigit bibir bawahku dan menunduk. Kuputuskan untuk duduk di depan kamar, menghindari isakan Chaerin yang membuat hatiku semakin sakit.

Kurogoh saku dalam jaket kulitku. Sebuah kalung perak berbandul panda itu muncul dari sana. Kupandangi kalung itu. Dua hari lagi Chaerin berulang tahun. Aku akan memberikan kalung ini padanya. Aku tidak berharap lagi dia akan suka atau tidak, yang kuharapkan sekarang, dia mau menerimanya.

”Donghae-ssi? Kau sudah kembali?” aku tersentak mendengar suara Eomonim di depan pintu. Segera kutaruh kalung itu kembali di tempatnya.

”Ah, ne, eomonim. Aku baru saja sampai. Apa Chaerin sudah bangun?”

Eomonim mengangguk. ”Dia sudah bangun sesaat setelah kau pergi ke minimarket. Oh ya, semua keperluan Chaerin sudah kubereskan. Kau akan membawanya ke Mokpo kan?”

”Oh, ne. Aku akan membawa Chaerin ke rumah kami di Mokpo.”

”Baguslah kalau begitu. Kalian harus sering bersama.” Eomonim menyentuh sekilas lenganku. Aku mencoba tersenyum padanya.

”Baiklah, aku harus kembali ke kantor sekarang juga.”

”Ne, eomonim.”

Kubungkukkan badanku sedikit sebelum ibu mertuaku itu beranjak pergi. Aku masuk ke dalam kamar dan mendapati Chaerin sedang berdiri di belakang jendela yang memperlihatkan deretan gedung-gedung pencakar langit Seoul. Dia memakai dress putih selutut dengan balutan cardigan hitam. Sinar matahari menyinari wajahnya. Aku sedikit terpukau melihat sosok Chaerin saat ini. Dia… cantik.

”Aku baru saja membelikanmu susu. Apa kau mau meminumnya sebelum pulang?” tanyaku selembut mungkin. Dia diam. Jujur saja, aku sangat tidak nyaman Chaerin bersikap seperti ini. Aku seperti kehilangan sosoknya.

”Kita langsung pulang saja.” jawabnya tanpa membalikkan badan. Kuanggukkan kepalaku berkali-kali. Aku segera meraih tas ransel berisi pakaian Chaerin. Dia berjalan mendekatiku dan tangannya meraih kantong plastik berisi susu yang kubeli.

”Gomawo. Aku memang sangat membutuhkannya.” ujar Chaerin diiringi senyum manisnya. Mataku menatapnya tak berkedip. Tanpa sadar, bibirku ikut tersungging. Chaerin sudah kembali. Istriku sudah tidak mengacuhkanku lagi. Aku senang.

 

>>>>>

 

CHAERIN’S POV

Cuaca malam ini sangat cerah. Meski di perjalanan menuju Mokpo mendung sempat melanda, tapi aku rasa tidak akan turun hujan.

Aku berjalan masuk ke dalam rumah diikuti Donghae yang membawa ranselku. Mataku menelusuri isi rumah ini. Ah, aku rindu sekali dengan rumah ini. Meski aku hanya tinggal sebentar, tapi rumah ini memberikanku banyak kenangan yang sulit kulupakan. Mataku menangkap sepasang sandal panda yang sudah lama tidak kugunakan. Aku juga merindukan sandal ini. Ah, aku merindukan seluruh isi rumah ini!

”Berbaringlah di kamar. Aku sudah membersihkan semuanya, tidak akan ada debu yang menempel.” ujar Donghae seraya meletakkan tas ransel yang dibawanya ke atas sofa. Aku memandangnya sejenak. Dia bahkan sudah membersihkan rumah ini sebelum aku datang? Kenapa dia begitu baik padaku?

”Kau mau ke mana?” tanyaku.

”Oh, aku mau keluar sebentar. Tidak akan lama. Tidurlah kalau kau lelah.”

Donghae beranjak keluar rumah. Aku memandangnya heran. Kami baru saja sampai, dia pasti lelah karena menyetir mobil selama dua jam. Aku tahu dia masih belum mahir menyetir sampai detik ini.

Aku segera masuk ke dalam kamar dan duduk di atas ranjang. Spreinya tidak berubah, hanya menimbulkan wangi yang begitu menusuk hidung. Jangan-jangan Donghae juga mencuci spreinya? apa dia begitu menyiapkan kedatanganku kembali ke rumah ini? ya Tuhan, kalau seperti ini terus, rasa bersalahku tidak akan bisa hilang.

Kuletakkan tubuhku di atas ranjang yang nyaman ini. Perlahan mataku terpejam. Wangi sprei ini benar-benar memanjakan hidungku hingga aku terlelap lagi.

 

>>>>>

 

AUTHOR’S POV

Namja itu berjalan menuju supermarket setelah memarkirkan mobilnya. Mimik wajahnya nampak bahagia. Begitu sampai di dalam, ia menurunkan sedikit topi yang dikenakannya lalu mendorong troli. Satu tangannya terulur untuk mengambil satu ikat berisi empat wortel dengan warna orange menyala.

Kakinya melangkah lagi ke gundukan sayur di sebelahnya. Ia meraih satu ikat kembang kol dan memasukkannya ke dalam troli. Terus seperti itu hingga ia merasa semua bahan masakan yang ingin dimasaknya lengkap.

Namja itu akhirnya beranjak menuju kasir.

”Eh? K-kau… bukankah kau ini Donghae Super Junior?” seru pelayan kasir itu.

”Sssssstttt pelankan suaramu! Aku ingin pulang ke rumah dengan selamat, jadi kau tidak boleh berteriak karena mengenaliku. Arasseo?”

Pelayan kasir itu menunjukkan mimik senang bercampur kaget.

”Ne. Aku tidak akan berteriak. Tapi… bolehkah aku meminta tanda tanganmu?”

Donghae menggigit bibir bawahnya sesaat. ”Baiklah. Kemarikan bukumu.”

”Ah, aku tidak punya buku. Bagaimana kalau… di sini saja?” pelayan kasir itu menunjuk ke bagian depan kaus seragam kerjanya.

”Baiklah.”

Donghae segera memberikan tanda tangan di baju pelayan kasir itu dengan cepat.

”Sudah. Kalau begitu, cepat hitung semua belanjaanku. Mianhae, aku sedang terburu-buru.”

”Algeutseumnida, oppa.”

Pelayan itu pun menghitung semua bahan masakan yang dibeli Donghae dengan sigap. Sementara Donghae nampak mengawasi keadaan sekitar, takut-takut ada orang yang mendengar ’transaksi’nya barusan. Supermarket ini sudah cukup sepi. Namja itu bersyukur atas keadaan yang begitu mendukungnya tersebut.

”Semuanya tiga puluh ribu won. Ah bukan, dua puluh ribu won.”

Donghae mengerutkan keningnya. ”Kenapa kau plin plan sekali?”

”Karena kau sudah memberiku tanda tanganmu tanpa aku harus berdesakkan dengan ELF lain saat fansigning, jadi aku beri kau diskon. Terima kasih, oppa.”

”Mwo?”

Pelayan kasir itu tersenyum lebar sambil menyerahkan dua buah plastik putih berisi bahan masakan. Donghae menerimanya setelah memberi pelayan kasir itu uang senilai lima puluh ribu won.

”Ambil saja sisanya untukmu. Gomawo…” Donghae melirik name-tag yang dipakai pelayan kasir itu. ”Park Ga In.”

Gadis itu menganga tak percaya. Donghae segera pergi dari sana sambil menenteng dua plastik berisi sayur dan buah-buahan menuju mobilnya yang terparkir rapi.

”Kyaaaaaaaaaaaa Donghae oppa memanggil namaku!”

 

>>>>>

 

CHAERIN’S POV

”Ah!”

Aku tersentak mendengar sebuah pekikan. Kuerjap-erjapkan mataku. Rupanya aku ada di atas ranjang. Aigoo, sudah berapa lama aku tidur? Kenapa aku jadi sering sekali tidur sih? Kutegakkan tubuhku dan menilik jam di meja samping ranjang.

Pukul tujuh. Ternyata sudah malam. Aku segera beranjak dari ranjang dan keluar kamar. Hidungku langsung menemukan bau makanan. Hmmm seperti sup. Kulangkahkan kaki menuju dapur. Mwo? Donghae? Dia memasak?

Ini benar-benar pemandangan langka. Seorang idola yang punya banyak penggemar diseluruh dunia sepertinya sedang memasak? Hahaha… lucu sekali! Tak sadar bibirku tersungging melihat Donghae yang nampak kerepotan memasak. Dia menggaruk kepalanya beberapa kali lalu berkacak pinggang. Aku penasaran bagaimana rasa masakannya. Tapi… dia memasak untuk siapa? Aku?

”Yeay! Akhirnya sup ini matang juga.” seru Donghae sambil mengelap dahinya. ”Ternyata memasak itu tidak mudah.”

Aku tertawa kecil namun lirih.

“Aku harap Chaerin menyukai sup ini.”

Bibirku kembali ke tempatnya. Jadi benar dia memasak sup itu untukku? Meski sup adalah masakan yang paling mudah dimasak menurutku, tapi tidak untuk namja seperti Donghae. Dia tidak bisa memasak sama sekali dan dia berusaha keras memasakkan sup untukku? Kusadari sesuatu detik ini juga. Donghae benar-benar mencintaiku.

”Oh, kau sudah bangun? Kemarilah. Aku memas- ah, pasti kau akan menertawaiku karena melakukan hal ini. Tapi sudah lama aku ingin melakukan ini agar tidak merepotkanmu lagi.”

Astaga, Donghae ini bicara apa? aku tidak pernah merasa direpotkan karena selalu memasakkan makanan untuknya. Yah, mungkin dulu iya. Karena saat itu aku belum menyadari perasaanku padanya.

”Duduklah di sini.”

Donghae menarik satu kursi di belakang meja makan. Aku pun berjalan mendekat dan duduk di kursi yang dia tarik seraya menyunggingkan senyum sekilas padanya.

”Makanlah sup ini. Mungkin tubuhmu akan lebih baik.”

Dia menyodorkan satu mangkuk sup rumput laut di hadapanku. Hmmm baunya enak. Aku rasa dia berhasil membuatnya.

”Kau tidak makan?” tanyaku begitu Donghae duduk di sebelahku dengan mata yang terus memandangiku. Aku sedikit tidak nyaman terlalu diperhatikan seperti ini olehnya. Kami terbiasa bertengkar, rasanya aneh kalau kami bisa seakur ini.

”Aku bisa makan nanti.” jawabnya.

Hatiku berdesir tiba-tiba. Donghae sungguh-sungguh menyiapkan sup ini untukku. Apa ini sifat dia sebenarnya? penyayang dan perhatian. Ya Tuhan, mataku panas.

”Kita bisa makan bersama.”

”Aniya. Kau yang lebih membutuhkan banyak makan, jadi kau yang harus makan duluan.”

Aku mengangguk-angguk pelan. Kutelan sedikit ludahku untuk menahan sesak di dalam dadaku. Tanganku mulai mengangkat sendok berisi air kuah sup dan bersiap masuk ke dalam mulutku.

Hhhhmmmmmppppfff

Ini… rasanya…

”Chaerin-ah, waeyo? Apa supnya tidak enak?”

Ya, rasanya sangat aneh, Donghae-ya. Benar-benar aneh. Tapi aku ingin menghabiskannya. Ini adalah masakan pertama suamiku. Aku tidak mau dia kecewa. Donghae pasti sudah membuatnya dengan sepenuh hati.

Satu tetes cairan bening keluar dari sudut mataku..

”Aniyo. Ini enak sekali, Donghae-ya. Sangat enak! Apa aku boleh menghabiskannya?”

Aku menatap mata Donghae dengan pandangan buram karena air mataku menghalanginya.

”Kau bohong, Chaerin-ah. Sup ini pasti tidak enak. Sudahlah, jangan kau habiskan. Nanti kau malah tambah sakit.”

”Aniyo, ini kan masakan suamiku, jadi aku harus menghabiskannya.” Kusendokkan lagi satu kuah sup ke dalam mulutku. Aku tidak peduli dengan rasanya.

”Keumanhae!” Donghae menahan tanganku yang ingin kembali memasukkan kuah sup itu. ”Aku tahu itu tidak enak jadi kumohon jangan dihabiskan. Kau bisa sakit lagi, Chaerin-ah!” tambahnya dengan nada tegas. Aku tidak berani menatap matanya. Yang bisa kulakukan hanya menggigit bibir bawahku kuat-kuat untuk menahan nyeri yang menyerang.

Donghae menarik pelan bahuku hingga membuat tubuhku menghadapnya. Dua ibu jarinya mengusap air mata di pipiku.

”Uljima,” ucapnya. ”Aku sudah cukup membuatmu menderita dan menangis seperti ini. Aku tidak ingin mengulanginya lagi.”

Kunaikkan kepalaku. Bisa kulihat sekarang wajah Donghae dengan raut yang tidak bisa kuartikan. Wajahnya begitu jelas terpampang dihadapanku. Wajah yang pernah ingin kubuang jauh-jauh dari pikiranku namun selalu gagal itu terlihat lelah. Lingkar hitam di bawah matanya menandakan kelelahannya selama ini.

Kutarik punggung Donghae dan langsung memeluk lehernya erat.

”Aku tidak tahu kalau kau sepeduli ini padaku. Kau bahkan rela melakukan hal yang tidak pernah kaulakukan demi aku. Tapi aku tidak menyadari semua itu. Aku terlalu memikirkan diriku sendiri. Aku egois, benar kan?”

Donghae diam dan membalas pelukanku dengan sangat erat.

”Bahkan aku sudah tega membunuh anak kita. Aku benar-benar kejam, Donghae-ya.”

Tangisku pecah. Kubenamkan wajahku di bahu Donghae selama beberapa saat. Kami terdiam, hanya suara isakanku memenuhi ruang makan ini. T-shirt tipis hitam yang dikenakan Donghae sedikit basah karena air mataku menumpahinya. Sesak yang menggelayuti dadaku sejak tadi berangsur-angsur hilang. Aku tidak tahu pelukan Donghae menimbulkan kenyamanan seluar biasa ini.

Kulepaskan pelukan itu. Donghae kembali menghapus sisa air mata yang menempel di pipiku dengan kedua ibu jarinya. Kutatap matanya dalam. Dia tersenyum.

”Aku mengerti.” ucapnya. ”Semuanya sudah berakhir sekarang. Aku tidak ingin mengingatnya lagi. Kuharap kita bisa memulai kehidupan kita dari awal. Eottae? Kau setuju?”

Aku masih menatap matanya dalam-dalam sebelum akhirnya mengangguk pelan. Dia tersenyum lagi, kali ini lebih manis. Ya Tuhan, aku seharusnya memang bahagia mengenal dan menikah dengan namja ini, meski jalan awalnya begitu buruk bagiku.

Kalau saja Appa dan Eomma tidak bersahabat dengan orang tua Donghae, kalau saja mendiang Appa Donghae tidak berpesan agar menikahkan aku dengan Donghae sebelum beliau meninggal, kalau saja aku benar-benar kabur dari rumah di hari pernikahanku, kalau saja…

Ah, aku pasti tidak akan pernah menemukan namja yang benar-benar mencintaiku seperti Lee Donghae jika semua itu terjadi. Takdir tidak selalu kejam seperti pemikiranku sebelumnya. Takdir justru mempertemukan kita dengan kebahagiaan yang sesungguhnya.

Donghae mendekatkan wajahnya. Mataku mengerjap berkali-kali. Aigoo, apa dia mau menciumku lagi? Kupejamkan mataku dan berusaha pasrah kalau memang Donghae mau menciumku seperti malam itu. dadaku sedikit bergejolak dan ingin mencelos keluar. Solusi satu-satunya, aku harus menghitung angka sebanyak mungkin untuk mengusir kegugupan ini.

1… 2… 3… 4… 5… 6… 7…

Cup!

Mataku membelalak. Dia mendaratkan bibirnya di keningku.

”Ke-kenapa kau tidak mencium… bibirku?”

Donghae tertawa kecil. ”Kau sedang menangis. Aku tidak mau mencium bibirmu saat kau menangis. Jadi, jangan pernah menangis lagi. Kau mengerti, nyonya Lee?”

”Mwo? Hya! Jadi maksudmu kau akan terus menciumku saat aku tidak menangis? Begitu, hah?”

”Wae? Kau kan istriku, jadi-”

”Aku tidak mau!”

”Mwo? Kenapa kau tidak mau?”

”Karena masakanmu tidak enak, tuan Lee. Rasanya aneh,”

”MWO? Jadi benar sup itu tidak enak?”

”Tentu saja! Kau ini bodoh sekali!”

”Hya! Aiiiissshh jinjja!”

 

>>>>>

 

AUTHOR’S POV

Noona neomu yeppeo, itjyo

Replay replay replay

Suara nada dering yang melantunkan lagu Replay milik grup SHINee itu menggema di sebuah ruang kelas fakultas Seni Universitas Korea. Seorang gadis yang tengah membereskan buku-bukunya segera meraih ponsel di dalam tasnya. Bibirnya tertarik begitu ia menilik siapa yang sedang meneleponnya. Namun sesaat kemudian, bibir itu kembali ke tempatnya.

“Wae?” sapanya ketus.

”Hya! Kenapa kau galak begitu?”

”Aku? Siapa yang galak? Aku hanya menyapamu, suamiku.”

”Menyapa apa? aiiissshh sudahlah, aku tidak mau berdebat.”

Gadis itu menjauhkan sedikit ponsel dari telinganya dan menggerutu ke arah ponselnya.

”Jadi untuk apa kau meneleponku? Aku masih ada di kelas.”

”Aku hanya ingin mengatakan kalau aku sedang berdiri di depan mobilku sekarang.”

”Mwo? Ck, jadi kau menelponku hanya untuk mengatakan itu? hahaha lucu sekali kau ini!” ucap gadis itu dengan mimik meremehkan.

”Tapi itu tidak akan lucu lagi kalau mobilku sedang terparkir di depan kampusmu.”

”Aigoo, di depan kampus apa. Bo? Kau di depan kampus? KAMPUSKU??”

”Begitulah…. istriku.”

”Hya! Kau mau mati, hah? Untuk apa kau di sana? Astaga, cepat pergilah! Kalau tidak kau akan-”

”Aku akan dikeroyok semua mahasiswi di sini? Sayang sekali kau sudah telat memberitahuku tentang itu, chagi. Mereka sudah mengeroyokiku sejak tadi.”

”MWO?”

Gadis itu segera berlari ke arah jendela kelasnya yang memang menghadap ke bagian depan kampusnya.

”Aiiiissshhh apa-apaan dia itu?”

Pip. Di tutupnya ponsel yang sejak tadi menempel di telinganya lalu menarik tas selempangnya dan beranjak keluar gedung. Langkahnya lebar dan ia harus berulang kali meminta maaf pada orang-orang yang ditabraknya.

 

>>>>>

 

DONGHAE’S POV

”Oppa, tolong simpan nomorku dan hubungi aku ya!”

Kudengar suara sopran seorang yeoja dengan kacamata tebal itu sambil menyerahkan satu kertas kecil di depan wajahku. Aku tersenyum padanya dan teriakan kembali bergemuruh.

”Baiklah, akan aku simpan nomormu di ponselku. Kaulihat ini?” aku mengeluarkan ponsel milikku dan mulai mengetikkan beberapa digit nomor dari kertas kecil itu. ”Ah aku lupa, siapa namamu?”

”Aku? A-aku… Taehee. Nam Taehee.”

”Baiklah. Nam… Taehee… sudah kusimpan.” aku menunjukkan layar ponselku padanya dan lagi-lagi suara teriakan kembali bergemuruh. Banyak dari mereka mengulurkan kertas berisi nomor ponsel mereka padaku. Kalau saja aku memang punya banyak waktu, aku pasti akan menyimpan semua nomor ponsel mereka dan menghubunginya. Tapi sayangnya, aku tidak punya banyak waktu untuk itu.

Mataku menangkap sosok yeoja yang berdiri tak jauh dariku sambil melipat kedua tangannya di depan perutnya. Aku tahu ekspresi itu. Dia pasti sedang kesal. Atau… cemburu? Kekeke~

”Joesonghamnida, aku harus menjemput istriku dulu.” ucapku seramah mungkin pada ELF yang sedang mengelilingiku ini. Suara teriakan dan gemuruh yang sejak tadi menggema, kini hilang seperti ada yang menekan tombol ’mute’. Aku keluar dari kerumunan dan menghampiri Chaerin.

”Bagaimana kejutanku? Kau suka?”

Dia tidak langsung menjawab.

”Benar-benar ikan menyebalkan!” gerutunya. Aku tertawa kecil mendengar kata-kata itu. Aku suka ekspresi ini. Sudah lama dia tidak mengeluarkannya di depanku.

”Kajja!” kutarik pergelangan tangannya.

”Mau kemana?” dia menahan tanganku.

”Aku… mau menculikmu.”

”Mwo?”

 

>>>>>

 

CHAERIN’S POV

Aiiiissshh ikan menjijikkan! apa dia benar-benar ingin menculikku? Kenapa sejak tadi dia hanya membawaku berputar-putar di tempat yang sama? Sebenarnya dia mau mengajakku kemana?

”Hya! Hentikan mobilnya sekarang juga!”

”Wae?”

”Apa kau tidak tahu? Kita sudah memutari tempat ini lima kali!”

”Benarkah?”

Ya Tuhan, rasanya ingin kulempar sandal saja ikan ini!

”Tunggulah sebentar lagi. Aku pasti akan menemukan tempatnya.”

”Mwo? Tempat apa?”

”Nanti kau akan tahu. Untuk itu diamlah, kau mengganggu konsentrasiku.”

Apa? dia menyuruhku diam? Kalau saja dia tidak membuatku pusing seperti ini, aku tidak akan cerewet padanya. Kulempar punggungku ke badan kursi mobil dan meniup poniku, kesal. Terserah sajalah! Percuma juga marah-marah pada ikan babo ini.

”Ah, itu dia tempatnya. Kaulihat? Aku menemukannya.”

I DON’T CARE! Aku tidak peduli apa yang akan kaulakukan, Lee Donghae.

Donghae mematikan mesin mobil. ”Hya! Ayo turun!”

”Aku tidak mau!”

”Aigoo, berhentilah bersikap keras kepala di saat-saat seperti ini. Kau akan membuat suasananya hancur nanti.”

Eh? apa maksudnya? Dia sebenarnya membawaku kemana sih? Karena penasaran, kucondongkan sedikit tubuhku untuk melihat gedung beraksen Italia itu.

John Lee Bridal. Aku membaca tulisan besar yang ada di depan gedung itu. Ternyata dia membawaku ke butik gaun pernikahan. Apa? butik gaun pernikahan?? Jangan-jangan…

 

”Geudaereul saranghandaneun mal, pyeongsaeng maeil haejugo shipeo

Would you marry me? 

Neol saranghago akkimyeon saranghago shipeo

Geudaega jami deul ddaemada, nae barae jaeweojugo shipeo

Would you marry me? Ireon naui maeum heorakhaejeollae?”

 

(Saying I love you, I want to do it every day for a lifetime

Would you marry me?

Loving and cherishing you

I want to live this way, Every time you fall asleep

I want it to be in my arms

Would you marry me?

Would you consent to this heart of mine?)

Aku membisu sambil menatap mata Donghae dalam. Apa aku tidak salah? Dia baru saja bernyanyi di hadapanku?

”Aku ingin kita menikah lagi.” ucapnya. ”Aku ingin melakukan semua rangkaian pernikahan dengan kebahagiaan seperti pasangan lainnya. Apa kau setuju?”

Aku tidak bisa menjawab apapun. Bibirku seakan terkunci rapat. Otakku sibuk menetralisir, apa namja ini baru saja melamarku?

”Hya! Kenapa kau diam saja? Aigoo, aku sudah seromantis ini tapi kau justru merusaknya. Haaahh sudahlah, kita pergi saja dari sini.”

”Tunggu!” aku menahan tangannya yang baru akan memutar kunci mobil. ”Mianhae. Aku hanya… sedikit terkejut. Kau baru saja melamarku kan?” tanyaku ragu. Donghae menatapku dan tersenyum manis.

”Tentu saja, gadis ingusan. Aku baru saja melamarmu. Aigoo, ternyata kau ini bodoh juga ya.” Donghae mengacak rambutku kasar.

”Hya! Jangan mengacak-acak rambutku!”

”Hahaha arasseo. Kajja!”

Donghae beranjak keluar dari mobil. Aku langsung memegangi pipiku yang rasanya panas seperti habis terbakar. Donghae-ya, kau romantis sekali. Meski lamarannya di dalam mobil, tapi dia sudah mewujudkan mimpi kecilku dulu. Melamarku dengan nyanyian. Ya Tuhan, aku terlewat bahagia.

Aku segera turun dari mobil dan menyusul Donghae. Kugapit lengannya. Dia sempat kaget melihat tindakanku. Tapi aku segera menyuruhnya untuk berjalan memasuki butik terkenal itu.

 

>>>>>

 

DONGHAE’S POV 

Hari ini aku dan Chaerin menghabiskan waktu bersama. Aku sengaja mempercepat jadwal pemotretanku di majalah Elle untuk menjemputnya di kampus. Pukul dua siang aku sudah membawanya ke butik gaun pernikahan milik John Lee ahjussi yang merupakan adik sepupu Lee Sooman sajangnim. Kemarin aku sudah memberitahunya untuk menyiapkan gaun pengantin Chaerin sehingga saat kami sampai di butik itu, Chaerin bisa langsung memakai gaunnya.

Aku tidak bisa berbicara satu katapun saat melihat istriku itu dengan gaun putih panjang berlengan pendek membentuk seperti balon lengkap dengan bunga ditangannya serta kerudung tipis yang dihiasi mahkota kecil warna perak. Dia sangat cantik, bahkan kecantikannya itu diluar bayanganku.

Setelah kami sama-sama memakai baju pengantin –aku dengan tuxedo putih dan dasi perak- kami pergi ke studio pemotretan milik rekanku, Ahn Gyobin. Dia mengarahkan kami untuk berpose mesra seperti pasangan pengantin baru yang lain. Bahkan dia menyuruh Chaerin untuk mencium pipiku. Dia nampak malu-malu, tapi usaha Gyobin benar-benar menguntungkanku. Dia seakan tahu apa yang kuinginkan.

Foto-foto pernikahan kami akan selesai lusa. Rasanya aku tidak sabar untuk membawanya pulang dan memajangnya di rumah kami. Meski sebenarnya kami sudah punya foto pernikahan, tapi aku merasa semua itu terpaksa. Kami tidak nampak bahagia di foto-foto itu. Karena itulah aku merencanakan semua ini.

Kutilik sekilas jam di pergelangan tanganku. Pukul 23:45. sebentar lagi pergantian hari. Dan itu berarti, Chaerin akan berulang tahun. Kami sudah ada di pinggir sungai Han yang sangat sepi, berdiri menatap tenangnya air sungai yang cantik dengan hiasan pantulan lampu-lampu gedung pencakar langit. Sesekali angin berhembus, menerbangkan rambut panjang Chaerin dan membuat tengkukku merinding.

”Kau kedinginan?” tanyaku setelah melihat Caherin menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya.

”Sepertinya begitu. Anginnya sangat dingin.” jawab Chaerin tanpa mengalihkan pandangannya dari sungai. Aku ingat kalau aku membawa beberapa pakaian di bagasi mobil sebagai persiapan kalau aku sedang sibuk dan harus datang tepat waktu untuk syuting atau latihan. Kuambil satu hoodie untuk Chaerin.

”Mungkin akan sedikit kebesaran untukmu. Tapi itu lebih baik dari pada kau kedinginan.” aku menyerahkan hoodie warna biru safir bergambar chibi grupku. Dia mengambil dan langsung memakainya.

”Ini animasi Super Junior?” tanyanya.

”Ne. Bagaimana? Lucu kan?”

”Ya… sepertinya begitu. Tapi gambarnya tidak mirip sama sekali dengan aslinya. Ah, aku tahu. Ini pasti dirimu, kan? Hahaha beda sekali! Dia lebih lucu.”

Mwo? Aiiiiisssshh gadis ingusan ini tetap saja menyebalkan.

”Aku memang tidak lucu, tapi aku tampan.”

”Aigoo, baiklah kau tampan. Paling tampan di antara semua ikan di sungai itu.”

Astaga, suasana seromantis ini, dia masih bisa merusaknya. Rasanya aku ingin mengeluarkan otakku untuk mencari cara bagaimana bisa membuatnya terkesan. Ayolah Lee Donghae, bukankah kau namja paling romantis di Korea? hal seperti ini mudah bagimu.

”Chagiya,”

”Hm?”

”Apa yang kau inginkan di hari ulang tahunmu?”

Dia memasukkan tangannya ke dalam saku depan hoodie, tapi aku buru-buru menariknya dan memasukkan satu tangannya ke mantelku. Dia nampak terkejut.

”Ayo jawab.”

”Hari ulang tahunku? Apa yang kuinginkan?”

 

>>>>>

 

CHAERIN’S POV

Aku terkejut begitu Donghae memasukkan tanganku ke dalam saku mantel yang dipakainya. Aku pernah melihat adegan seperti ini, mungkin di sebuah drama yang tidak sengaja kutonton. Dan ini sangat romantis, menurutku.

”Ayo jawab.”

”Hari ulang tahunku? Apa yang kuinginkan?” tidak sengaja aku menyuarakan pertanyaan di dalam hatiku.

”Benar.”

Otakku mulai berpikir. Sejujurnya aku tidak tahu apa yang aku inginkan di hari ulang tahunku. Makan malam? Kado? Masuk Universitas Korea jurusan Perfilman? Aku rasa semua itu sudah terwujud. Setiap tahun di hari ulang tahunku, Eomma dan Appa selalu mengajakku makan malam di restoran dan memberiku kado. Itu sudah biasa.

Dan tahun ini, mungkin mereka juga akan melakukan hal yang sama di hari ulang tahunku. Lalu apa yang kuinginkan?

Aku melirik Donghae sekilas lalu beralih ke tanganku yang digenggamnya di dalam mantel. Nyaman sekali berada di posisi ini. Aku rasa, aku ingin terus seperti ini dengannya. Aku ingin Donghae berada di sampingku.

”Kau masih tidak menjawabnya, nyonya Lee.”

”Ah, itu… aku ingin…”

Tiba-tiba aku merasakan tangan Donghae bergerak mengeluarkan tanganku yang ada di dalam mantelnya. Dia lalu meletakkan sesuatu di atas telapak tanganku. Sebuah kalung. Dan bandulnya… kepala panda. Aigoo, cantik sekali!

”Ini…”

”Saengil cukhahamnida, saengil cukhahamnida, saranghaneun nae yeobo, saengil cukhahamnida.”

Donghae bernyanyi dengan suara merdunya. Aku masih terpaku tak percaya. Jadi hari ini ulang tahunku?

“Sudah jam dua belas tepat, itu berarti kau sudah sembilan belas tahun sekarang. Karena kau tidak menyebutkan apa yang sebenarnya kauinginkan di hari ulang tahunmu, jadi aku hanya bisa memberimu kalung ini.” ucap Donghae lembut.

Aku memandangi kalung itu. Ini benar-benar cantik.

”Biar kupakaikan.” Donghae mengambil kalung berbandul panda itu dari tanganku. Dia mundur selangkah dan mulai memakaikan kalung itu ke leherku.

”Ini memang tidak mahal. Aku membelinya saat konser di Jepang beberapa waktu lalu. Aku pikir tidak akan ada waktu yang tepat untuk memberikan kalung itu padamu. Terlebih lagi saat aku tahu kau ingin bercerai dariku. Aku semakin tidak punya harapan.” ujar Donghae parau.

Aku menatap wajahnya dengan perasaan yang tak bisa kulukiskan. Hatiku tiba-tiba saja sakit mengingat kejadian dulu. Aku pasti sudah menyakiti perasaannya. Semua kenyataan itu menyudutkanku. Aku egois. Mataku mulai panas lagi, tapi aku tidak ingin menumpahkannya. Donghae sudah bilang tidak ingin membuatku menderita, itu berarti aku tidak boleh menangis di depannya karena itu akan membuat dirinya merasa bersalah.

”Aku ingin kau tetap berada di sampingku, Donghae-ya.” ucapku lirih. ”Aku tidak bisa lagi kehilangan dirimu. Aku butuh penopang untuk memberiku semangat hidup. Dan penopang itu adalah kau.” tambahku.

Donghae membalas tatapanku penuh arti.

”Aku baru sadar, ternyata aku sangat bergantung padamu. Gomawo… Donghae oppa.”

Kurasakan tubuhku tersaruk ke dada Donghae yang bidang. Dia memelukku erat. Meski sedikit kaget, tapi aku membalas pelukannya dengan lebih erat.

”Aku benar kan? Aku tahu kalau penantianku tidak akan sia-sia. Cepat atau lambat kau akan menyadari perasaanmu sebenarnya.” ujarnya. Aku bisa mendengar getaran suara Donghae di dadanya.

”Lee Chaerin, jeongmal saranghae…” dia berbisik tepat di telingaku lalu mengecup puncak kepalaku dengan lembut.

Aku memejamkan mata sejenak, menikmati pelukan Donghae yang hangat dan membuatku nyaman. Tanganku semakin mengerat ke pinggangnya.

Mataku membuka. Kurasakan angin berhembus melewati kami. Aku tidak akan pernah melepaskan namja ini pada siapapun dan sampai kapanpun.

Suamiku, aku juga mencintaimu.

 

-THE END-

Akhirnyaaaaaaa FF ini selesai juga. Part terakhir dengan jumlah halaman word paling panjang dan dibikin dalam waktu lima jam. Jeongmal gomawo buat readers yang selalu setia nungguin FF ini publish dan bersedia RCL. Kalian bener-bener membantu author banget buat nulis tiap partnya. Mianhae kalo author punya salah hehehe *readers : emang lebaran thor?* LOL

Satu pertanyaan penutup, apa kesan kalian sama keseluruhan dari FF ini? ditunggu komennya ya! Sampai jumpa di FF selanjutnyaaaaaaaaa ^o^

 

 

>published by.yooNkyu

 

6 thoughts on “[DONGHAE]|| SERIES Love by Accident (Part 18) END

  1. Udah end aja.. Gantung nih. Bikin sequelnya dong… Kesan nya: part awal2nya rada bingung dan kurang ngerti alurnya tapi pertengahan sampai akhir udah mulai keliatan jalan ceritanya dan beda dari yg lain..

  2. Daebakkkk !!
    suka ama jalan ceritanya !
    aku baru jumpa ama ff ni, intinya aku reader baru and maaf baru coment sekarang.
    salam kenal thor !!!

  3. halo! Aku author ff ini hehe
    terima kasih sudah bersedia baca ^^
    Ini ff tahun 2011 dan sudah ada sequelnya dgn judul Hold the Love. Aku kurang tau ff nya di post di blog SJFF juga atau gak tp kalian juga bisa temukan ff sequelnya itu di blog aku pinokaiyo.wordpress.com

  4. kyaaa demi apa si ikan mokpo ini romantis banget :’) aku ngakak banget baca yang ini”Aigoo, baiklah kau tampan. Paling
    tampan di antara semua ikan di sungai
    itu.” sambil ngebayangin wajah chaerin yang bilang kaya gitu dengan muka ketus sumpah ngakak banget ini chaerin kenapa suka panda? Sama kaya aku kah? Ahaha daebak thor keep writing yaa,aku ga ngerti sama orangtuanya hara,aku kira bakalan nyesel tau anaknya udah ga ada eh ini malah di telepon juga ga diangkat yaudahlah udah udah 😀

Leave a comment